Sungguh tidak mudah tinggal di kota besar yang kacau, semrawut, dan tidak manusiawi. Kota dimana kita harus berebut udara yang pliket dan bau minyak tanah. Uang, harta, dan kekuasaan dijadikan tuhan, juga sebaliknya, Tuhan dijadikan harta dan kekuasaan. Kriminalitas adalah arisan. Kota penuh dengan mata-mata nanar yang tak bisa dibedakan, apakah pembunuh berdarah dingin atau orang-orang saleh. Di kota ini, rasa malu dan gotong royong adalah nilai purbakala. Tidak ada lagi kesantunan dan kebesaran hati terlihat di kota yang menjulang ini.

Tidak mudah menyuarakan hati nurani di kota ini. Mereka selalu terpojok di sudut-sudut kota, terdiam dalam hati. Tapi saya yakin masih banyak yang mempunyai hati nurani. Sebelum jiwa saya terganggu karena menjadi penduduk kota ini, saya menulis jurnal ini. Jurnal ini bukan mengenai benar atau salah. Bukan tentang uang atau kuasa. Ini adalah sekedar catatan, dimana seorang warga kota berusaha tetap waras. Ini adalah catatan yang terpojok di pinggiran kota. Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, saya berterima kasih. Mari kita syukuri perbedaan di antara kita.

Monday, February 28, 2011

Kryptonite

Ini bukan cerita saya. Saya hanya menceritakan kembali. Sebaiknya tidak perlu dianggap fakta. Lebih baik dianggap fiksi yang dekat dengan realitas saja.

Di kota Surabaya lahir dan tumbuh seorang wanita bernama Rani. Sejak kecil hingga dewasa, Rani terlihat menunjukkan kecerdasannya. Hasil tes memang menunjukkan IQ-nya diatas rata-rata. Selain cerdas, ternyata dia tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik rupawan. Di setiap sekolah negeri favorit tempat dia bersekolah, dia selalu menjadi bunga yang merekah indah.

Ketika lulus SMU, Rani memutuskan untuk belajar Informatika di perguruan tinggi di Bandung. Dia menolak anjuran ayahnya mendaftar ke fakultas kedokteran di Surabaya. Ayahnya ingin Rani jadi dokter. Tapi begitulah Rani, keras kepala. Rani cerdas, pintar, dan ambisius, selalu mengejar segala yang dia inginkan sampai dapat. Dan benar saja, ketika lulus, Rani diterima bekerja di perusahaan besar dengan posisi bagus dan gaji cukup besar. Cantik, cerdas, mandiri, tegas, ambisius, apa lagi yang kurang? Rani adalah sejenis superwoman, menurut saya.

Rani pindah dari Bandung ke Jakarta setelah diterima bekerja. Masa depan karirnya bisa luas tak terbatas. Dia tinggal sendirian di Jakarta. Sampai dia mengenal Adi.

Adi adalah pria dari keluarga berada yang berwajah mirip bintang TV Ari Wibowo. Setelah mengenal Adi, dunia Rani berbunga-bunga. Dia jatuh cinta dengan Adi. Akhirnya mereka berpacaran. Sejak itu Rani dimabuk cinta, tak merasa sendirian lagi di Jakarta.

Adi sendiri tidak beruntung dalam dunia akademis. Dia akhirnya drop out dari universitas mahal di daerah Jakarta Barat. Dia mencoba main-main jual beli accessories mobil dan otomotif, selain itu masih mendapat uang saku yang cukup besar dari orang tuanya. Rani tidak menganggap ini menjadi masalah. Itu bukan hambatan cintanya untuk Adi.

Tahun pertama mereka berpacaran, sifat Adi yang sesungguhnya mulai terbuka. Adi ternyata pemarah. Beberapa kali Rani menjadi korban kemarahan. Beberapa kali pula Adi menunjukkan kemarahan yang akut. Itu pertama kalinya seumur hidup Rani mendapat kata-kata makian. Mungkin cintanya begitu tulus, Rani tidak bisa membalas. Dia hanya menangis. Bahkan dia menganggap bahwa semua itu kesalahannya sendiri.

Menjelang tahun ketiga, mereka menikah. Mereka tinggal di rumah orang tua Adi, karena orang tua Adi membujuknya. Tapi Adi sekarang malu sering-sering meminta uang saku dari mamanya. Karena bisnisnya yang mirip main-main tidak selalu menghasilkan, akhirnya mayoritas biaya rumah tangga dibiayai oleh gaji Rani. Hampir setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak.

Meskipun sudah dikaruniai seorang anak, ternyata Adi belum berubah banyak, masih pemarah. Frekuensinya bahkan semakin sering. Pernah Rani menghabiskan waktu hampir seharian menangis di kantor dengan mata biru sebelah. Semalam Adi marah besar ke Rani, dan memukul wajah Rani. Pagi itu, Adi memang minta maaf ke Rani, tapi sebulan kemudian pemukulan di wajah itu terulang. Setelah itu, beberapa kali Rani menjadi korban pemukulan Adi ketika marah-marah.

Rani makin sering menangis di kantor. Konsentrasi dalam pekerjaannya sering buyar. Dia menolak peluang beasiswa ikatan dinas di kantor pusatnya di Amerika Serikat. Sebelumnya, Adi marah-marah akan niat Rani mencoba sekolah lagi di luar negeri dengan biaya kantor, menuduh Rani berniat melarikan diri dari tanggung jawab membesarkan anaknya. Keadaan di rumah semakin parah buat Rani. Mertuanya juga menuduh Rani terlalu sibuk bekerja sampai lupa mengurus suami dan anaknya.

Rani merasa hidupnya bagaikan dalam neraka. Dia selalu tertekan tiap hari. selalu was-was, tidak tenang, bahkan ketika tidur di sebelah suaminya. Tapi dia tetap bersyukur telah diberkahi seorang anak laki-laki yang lucu dan sehat. Semua ini hanya cobaan yang harus dilewati dan akan segera berlalu. Dia juga terus berdoa agar suatu saat Adi berubah menjadi orang yang penyayang dan penyabar. Suatu saat Adi akan tahu betapa dalam cintanya terhadap Adi, begitu pikir Rani.

Anda penasaran akan nasib Rani selanjutnya? Sama, saya juga. Ceritanya memang belum selesai. Mungkin nanti cerita tentang superwoman kita ini akan saya teruskan.

Dalam cerita komik, Superman adalah manusia paling hebat sejagad raya. Punya kekuatan luar biasa, kebal senjata, bisa terbang, memiliki penglihatan menembus tembok dan pendengaran jarak jauh, bahkan bisa menembakkan sinar laser dari matanya dan membuat gunung es dari tiupan nafasnya. Akan tetapi Superman pun punya kelemahan. Dia tidak berdaya ketika berhadapan dengan sebongkah batu yang bernama Kryptonite. Agak aneh, kristal permata yang harusnya memancarkan cahaya kehijauan yang indah itu bisa menimbulkan maut bagi manusia super setengah dewa, Superman.

Kadang manusia super memiliki kelemahan yang tidak kita sangka-sangka. Superman memiliki Kryptonite. Bagi Rani, superwoman kita, Kryptonite-nya adalah Adi. Segala kekuatan super Rani bisa luruh di depan Adi, tak berdaya.

***

Ferdinand Marcos awalnya adalah pahlawan rakyat kecil Filipina. Rakyat Filipina mengagumi Marcos muda. Setelah menikahi penyanyi desa ambisius bernama Imelda, Marcos akhirnya menjadi presiden Filipina dan kemudian menjadi tiran tangan besi yang mengumpulkan harta kekayaan negara untuk pribadi. Marcos bahkan menyuruh orang untuk menembak mati Ninoy Aquino, lawan politiknya yang populer. Aquino sebelumnya pernah menolak cinta Imelda, yang sekarang menjadi istri Marcos. Ferdinand Marcos telah menemukan kryptonite-nya, Imelda.

Yudhistira, kakak tertua dari Pandawa adalah tokoh paling jujur, paling baik, paling setia, paling penyayang, dan paling sabar dalam dunia pewayangan. Tidak ada orang yang bisa membencinya. Konon bila dia naik kereta kuda, kereta kuda tersebut mengapung di udara, tidak menyentuh tanah, karena Yudhistira tidak pernah berbohong sebelumnya seumur hidup. Tapi Yudhistira ternyata juga punya kelemahan: berjudi. Ketika berjudi, dia gelap mata. Kerajaan, kehormatan, bahkan istri tercintanya sendiri pun dipertaruhkan dalam meja judi. Kryptonite ala Yudhistira.

Mungkin kita sedih, superman dan superwoman kesayangan kita bisa jatuh hanya karena hal-hal yang sebenarnya buat kita remeh. Kita bisa berharap mereka bisa bangkit lagi dan menyingkirkan Kryptonite mereka selamanya. Ada yang ingin membantu mereka untuk bisa terbang lagi. Tapi ada juga sebagian dari kita yang memilih untuk menonton saja, berharap happy ending akan muncul dengan sendirinya.

Saya? Saya hanya menulis blog.

Sunday, February 27, 2011

Berlomba-lomba Dalam Kekejaman

Tahun 1965, massa Pemuda Rakyat dan Barisan Tani yang asosiatif dengan PKI, dengan parang dan golok, menyerbu sebuah masjid di Kanigoro, Kediri, dimana anggota PII (dituduh sebagai underbouw Masyumi yang dilarang oleh pemerintah) berkumpul. Beberapa orang hilang dan tewas dibantai, dan masjid itu dirusak.

Tahun ini, massa menyerbu Ahmadiyah (yang juga dilarang) di Cikeusik, Pandeglang, dengan golok dan tombak, beberapa orang tewas dibantai dan hilang.

Labelnya beda. Bajunya beda. Tapi judulnya sama, tetap bunuh-bunuhan. Tetap siksa-menyiksa. Tetap sadis dan tetap kejam. Tetap indonesia.

Apakah berlaku pepatah "berlomba-lomba dalam kekejaman" disini? Setelah bertahun-tahun sejarah tertulis, apa yang berubah? Mengapa kita terus mengulang kekejaman yang sama?

(Pssst!) Rahasia...

Freud pernah berkata bahwa tidak ada orang yang bisa menyimpan rahasia. Apabila mulut seseorang tertutup, rahasia tersebut akan keluar memancar dari pori-porinya.

Sigmund Freud adalah psikoanalis paling cemerlang yang pernah ada, terutama karena analisisnya mengenai sakit jiwa. Freud benar. Tidak ada orang yang bisa menyimpan rahasia, paling tidak menyimpannya lama-lama. Kita bisa sakit jiwa karenanya.

Entitas kejiwaan manusia terwujud dalam kepribadian (personality). Kepribadian kita membuat kita cenderung ingin dimengerti. Dipahami oleh manusia lain. Untuk itu kita melakukan exposure kepribadian kita kepada orang lain. Menunjukkan: "inilah aku". Manusia adalah makhluk yang berkata-kata. Sayangnya, rahasia itu membuat kita tutup mulut.

Setiap orang pasti pernah punya rahasia. Rahasia bahwa kita mencintai atau membenci seseorang. Rahasia bahwa kita pernah melakukan perbuatan yang bodoh dan memalukan. Rahasia bahwa kita memiliki preferensi seksual tertentu. Kita juga menyimpan password komputer dan pin ATM untuk diri kita sendiri. Yang tidak kita sadari, manusia adalah makhluk yang sangat verbal. Personality kita ingin diketahui oleh orang lain. Bahkan ketika kita memilih password komputer pun (salah satu hal yang paling rahasia dalam hidup kita) kita menunjukkan personality kita. Beberapa tahun ini (psst, ini rahasia!), saya selalu memilih kata "mojokerto" untuk password komputer saya. Ini dikarenakan saya lahir di kota bernama "mojokerto" dan memiliki memori tertentu dengan kota tersebut. Tentu saja sekarang password-nya sudah diganti!

Cepat atau lambat, orang akan bisa menebak password komputer saya. Entah dari membaca pori-pori saya atau sekedar membaca biodata saya. Cepat atau lambat, rahasia yang kita simpan akan terbongkar. Meskipun rahasia yang terburuk sekalipun, ada semacam perasaan lega karena peti besi itu sudah terbuka.

Lega karena menyimpan rahasia adalah sebuah beban. Semakin dalam dan gelap rahasia itu, semakin berat beban kita. Apabila kita mempunyai affair rahasia dengan seseorang, ada semacam ketegangan ketika kita bertemu orang tersebut. Ketika rahasia tersebut terbongkar, ketika semua orang sudah tahu siapa kita sebenarnya, sudah tahu apa yang kita lakukan, tidak akan kita temui ketegangan itu ketika bertemu lagi dengan orang yang sama. Rahasia sudah terbongkar, beban sudah dibuang ke laut.

Saya dulu sering baca komik. Anda tahu siapa yang paling banyak menyimpan rahasia? Super-heroes! Superman, Batman, Spider-Man, semuanya memiliki rahasia besar. Mereka merahasiakan identitas sebenarnya. Dan semua super hero memiliki sakit jiwa yang sama: alter ego, kepribadian ganda. Beban berat juga dirasakan oleh pahlawan pembela kebenaran sekalipun.

Superman/Clark Kent, Batman/Bruce Wayne, Spider-Man/Peter Parker, semua memiliki kepribadian ganda. Kadang mereka tidak bisa memisahkan keduanya. Kadang mereka tersiksa ingin membuka identitas rahasianya. Mereka semua memiliki kegagalan dalam kehidupan personal, apalagi percintaan. Gagal total. Memangnya Anda pernah membaca komik edisi pernikahan Batman? (Di filmnya, Lois Lane punya anak dari Superman, tapi malah menikah dengan orang lain)

Kalau Anda tidak ingin meledak karena rahasia yang Anda simpan, jangan memilih profesi sebagai super hero. Jangan menjadi Superman (atau Wonder Woman) baru. Anda adalah kepribadian Anda. Tunjukkan kepada dunia.

Kalau Anda mencintai seseorang, tunjukkanlah. Kalau Anda mempunyai affair rahasia, ketahuilah bahwa affair dapat menimbulkan sakit jantung dan gangguan jiwa. Ini ilmiah. Naiknya kadar adrenalin karena kecemasan akan terbongkarnya rahasia kita bisa memacu detak jantung semakin cepat. Jadi, tak ada gunanya juga menjaga image diri yang bukan menggambarkan sejujurnya diri Anda. Tak perlu memakai topeng untuk menutupi wajah Anda sebenarnya.

Saya memang tidak banyak bicara. Tapi ketika saya bicara, saya berharap saya bicara tentang kebenaran.

Kalau tidak percaya, Anda bisa baca pori-pori saya.

Saturday, February 26, 2011

Agama dan Kekerasan

Taliban, yang awalnya terbentuk dari madrasah-madrasah di dekat Pakistan, adalah kelompok yang pernah berkuasa secara tangan besi di Afghanistan. Sebagai faksi Islam, dia menegakkan hukum Islam yang paling keras yang pernah ada. Hasilnya, mungkin tidak harus disengaja, Taliban selalu identik dengan kekerasan.

Warga Afghanistan (yang tidak semuanya pendukung Taliban) dilarang tertawa terlalu keras di depan umum. Apabila melanggar, polisi Taliban akan memukul mereka dengan tongkat kayu. Wanita harus memakai burqa (penutup tubuh dan seluruh muka) dan tidak boleh keluar rumah tanpa ditemani muhrimnya. Wanita yang berjalan sendirian, dengan alasan apapun, akan dikembalikan ke rumahnya setelah dipukul dengan tongkat terlebih dulu. Pria yang keluyuran di luar masjid pada waktu shalat juga akan dihukum.

Setiap pencuri akan dihukum potong tangan. Mencuri adalah aktifitas, itulah yang terkena hukuman. Artinya obyek yang dicuri tidak penting. Mau mencuri berlian, ataupun mencuri roti sekedar untuk makan, tetap potong tangan. Di Kabul, pelaksanaan eksekusi pemotongan tangan, sekalian dengan perajaman orang yang tertangkap berzina dan eksekusi hukuman gantung, dilakukan di depan ratusan warga umum di stadion sepak bola.

Penduduk dilarang memiliki TV dan buku-buku dibakar oleh Taliban. Museum budaya Afghanistan yang kaya selama ribuan tahun dihancurkan isinya karena dianggap penuh dengan berhala. Patung Buddha raksasa di Bamiyan yang dibangun pada tahun 500 oleh nenek moyang orang Afghanistan sendiri juga dirubuhkan oleh Taliban.

Mengapa Taliban seperti itu? Mereka sekedar ingin menjalankan agamanya dengan cara paling baik. Ada yang menyebut Wahabi fundamentalis, ada yang menyebut Islam garis keras, atau apapun namanya, mereka hanyalah muslim yang berusaha taat. Mereka ingin mewujudkan masyarakat agamis yang paling baik. Untuk itu mereka perlu tongkat kayu dan batu rajam. Tapi di tengah bentakan, pukulan, cambukan, apakah masyarakatnya bisa merasakan ketenangan Tuhan di sekitar mereka? Apakah masyarakat Afghanistan merasakan kedamaian?

Apakah masyarakat Afghanistan bisa mensyukuri Islam sebagai rahmatan lil alamin di sekitar lingkungan Taliban yang taat? Bagaimana dengan orang yang mempunyai keyakinan berbeda dengan Taliban? Bisakah mereka hidup tenang menjalankan apa yang mereka percaya di Afghanistan?

Setiap orang berhak untuk mendapatkan kedamaian jiwa. Untuk itulah setiap orang berhak memeluk agama dan keyakinan. Karena agama dapat memberi kedamaian jiwa. Ada yang salah dengan penduduk Afghanistan, karena mereka memeluk agama dengan taat, tapi semakin jauh dari kedamaian. Yang ada adalah rasa was-was dan ketakutan tiap hari.

Bagaimana dengan syiar Islam? Meskipun Taliban adalah faksi Islam, melihat dari karakternya, mereka tak menjalankan syiar. Mereka tidak berdakwah, mereka memerintah. Bagaimana mereka bisa berdakwah dan menyebarkan agama Islam, orang non-Islam mana yang tidak takut berdekatan dengan mereka? Semua tentang Taliban adalah dominasi.

Bukan hal yang baru tentang agama dan dominasi. Tertulis sejarah panjang bagaimana penganut agama-agama besar (Islam, Katolik, Protestan, Yahudi dan agama lain) sering hanya bertujuan untuk mendapatkan dominasi atas masyarakat daripada menyodorkan solusi kedamaian. Masing-masing pemeluk agama juga sampai hari ini masih ada yang saling berebut dominasi, dari menghasut, menghina, saling melukai, bahkan sampai membunuh. Ini memang berbanding terbalik dengan konsep dakwah (preaching) yang harus masuk ke dalam logika dan kejiwaan manusia. Yang ada hanyalah perebutan pengaruh dan kekerasan yang membuat kita tidak ada bedanya dengan jaman prasejarah. Entah agama apapun, selalu hanya ada satu logika yang berlaku: kita benar dan mereka salah.

Kekerasan tidak akan membuat orang lebih taat beribadah. Anda membuang waktu mendekatkan diri dengan Tuhan apabila dilakukan dengan kekerasan. Kekerasan akan menimbulkan ketakutan. Ketakutan akan menimbulkan kebencian. Kebencian akan menimbulkan kemarahan. Kemarahan akan menimbulkan kekerasan lagi. Begitu seterusnya. Lalu dimana letaknya kedamaian dan kasih sayang?

Tuhan, maha pengasih dan maha penyayang, ampunilah dosa-dosa kami.

Thursday, February 24, 2011

Gong Show

Acara Gong Show yang disiarkan di salah satu TV di Indonesia mengambil ide dari acara Gong Show yang pernah disiarkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-1980-an. Mungkin Anda terhibur menontonnya, memang itu konsepnya. Membuat orang terhibur dengan berbagai cara, yang kadang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pencipta acara Gong Show adalah Chuck Barris, figur kontroversial di pertelevisian Amerika Serikat. Orang yang dianggap sebagai ikon dunia kuis televisi Amerika ini sering dihujat sebagai promotor kemunduran moral di televisi.

Suatu saat dia melakukan audisi untuk acara adu bakat biasa di TV. Ternyata mayoritas peserta audisi adalah orang yang sama sekali tidak berbakat, atau memiliki bakat yang sama sekali tidak berguna. Begitu banyak yang mengikuti audisi, membuat Barris berpikir bahwa; pertama, orang mau berbuat apa saja untuk masuk TV. Kedua, mereka tidak keberatan untuk dijadikan olok-olok di TV nasional, dan ternyata, hal itu boleh jadi menghibur penonton TV.

Maka, jadilah acara yang tidak jauh berbeda dengan Gong Show yang biasa kita saksikan di sini. Peserta menunjukkan keahliannya, ada yang sungguh-sungguh berbakat, ada yang sama sekali tidak berbakat, hanya nekat asal muncul di TV, ada juga yang mempunyai bakat yang tidak penting juga untuk dipertontonkan. Bahkan kadang membuat kita jijik atau iba. Tapi itu tidak penting. Yang beda dari acara ini adalah bahwa kita sebagai penonton tidak perlu mengagumi mereka atas kelebihannya. Kita justru bebas mengolok-olok mereka. Di atas panggung sendiri sudah ada tim olok-olok, 3 orang yang bertanggung jawab atas pemukulan gong. Yang reguler adalah seorang pelawak bernama Komeng, dua lainnya bintang tamu yang berganti-ganti.

Apakah setelah menonton Gong Show, penonton bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang dipenuhi dengan orang-orang berbakat? Saya yakin tidak. Toh ini hanya acara hiburan. Apakah penduduk Indonesia terhibur menonton Gong Show? Bila jawabnya ya, berarti kita sedang mengalami sakit jiwa yang akut.

Berarti kita telah menjadi bangsa yang kecanduan hiburan. Apapun kita lakukan untuk mencari hiburan, bahkan dengan mengolok-olok orang. Kemanusiaan, budi pekerti, moral, dan lain-lain, dikesampingkan dulu.

Sebegitu jauhkah yang harus kita lakukan hanya untuk terhibur? Apakah kita begitu butuh hiburan, sampai harus membuat acara yang bombastis dan sarkastis seperti itu? Mari kita menonton TV untuk mencari jawabannya.

Salah satu TV swasta membuat acara kontes menyanyi, untuk selebritis yang tidak bisa menyanyi, dengan durasi 5 jam lebih. Ada apa ini?

Bukankah seharusnya kita mencari penyanyi yang benar-benar bisa menyanyi, itupun tidak harus 5 jam penuh kita menontonnya? Pelajaran apa yang kita dapatkan setelah menghabiskan waktu 5 jam menonton acara tersebut? Tidak ada.

Kontes menyanyi dimana-mana, bahkan untuk anak di bawah umur. Belum cukup, ibu dan bapaknya pun diajak serta ikut menyanyi di panggung. Saat ini mayoritas anak-anak di perkotaan bercita-cita menjadi penyanyi pop atau dangdut, atau bintang sinetron. Jaman dulu, anak-anak bercita-cita menjadi dokter, pilot, astronot, insinyur, dan sebagainya, yang menyaratkan mereka untuk giat belajar di sekolah. Indonesia kelebihan stok penyanyi dan penghibur, dari segala umur. Dari keseluruhan kontes bernyanyi itu, berapa persen dari mereka yang benar-benar meraih kesuksesan di bidang rekaman? Tak lebih dari 1% saya yakin.

***

Kita lihat TV lain. Reality show sekarang menjadi primadona hiburan baru. Tapi intinya, semua hanya untuk hiburan, tidak lebih. Obyek orang nyata dengan kehidupan nyata dalam reality show cuma komoditas. Lagipula, itu semua tidak benar-benar real. Coba tonton reality show yang menghadirkan pria satu truk untuk mendapatkan cinta seorang gadis. Apakah hal ini benar-benar natural dan mungkin terjadi di kehidupan nyata? Kita melakukan semua itu, hanya untuk produk hiburan? Apakah tidak sebaiknya energi sebanyak satu truk itu digunakan untuk hal-hal yang lebih membangun?

Pindah TV lain lagi. Sinetron, sinetron, sinetron. sekarang lagi marak cerita pembantu atau anak jalanan yang cantik, yang disukai orang kaya, yang ternyata si pembantu tersebut sebenarnya keturunan orang kaya juga. Logika yang membodohi. Siapa juga yang mempunyai ide bodoh me-casting Agnes Monica sebagai anak jalanan yang seharusnya kucel, kumal, dekil, dan kurang gizi?

***

Acara televisi adalah ancaman yang nyata dalam kehidupan berbangsa. Saya selalu kehilangan respek terhadap orang-orang yang membuat rakyat Indonesia menghabiskan mayoritas waktunya terbengong-bengong di depan TV. Selebritis yang tidak berbakat pun bisa jadi idola karena TV. Kuis kaya mendadak menjual mimpi kepada orang yang seharusnya bangun dan bekerja keras. Hanya di televisi, wisata kuliner seakan menjadi gaya hidup orang Indonesia, padahal di kampung sebelah orang busung lapar dan makan nasi aking. Seharusnya ada peringatan pemerintah, mirip yang diterapkan di rokok: Televisi dapat membuat orang bodoh, agresif, tidak peduli sesama, dan membuat logika dan rasa kemanusiaan Anda tumpul.

Tapi saya tertarik dengan iklan Deddy Mizwar di TV pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2008. Dia membacakan puisi yang berbunyi: "Bangkit itu mencuri/Mencuri perhatian dunia dengan prestasi."

Saya ingin menambahkan versi saya sendiri:

"Bangkit itu berhenti,
berhenti menonton televisi, dan mulai membaca buku."

Wednesday, February 23, 2011

Terampil Berkomunikasi Gaya Facebook

Tahukah Anda, dari sebuah survei, karyawan rata-rata menghabiskan waktu 2 jam di kantor untuk membuka Facebook? Sisanya mereka pakai untuk bekerja dan hal-hal yang lain. Jejaring sosial di Internet ini seringkali dicap adiktif layaknya rokok. Bahkan banyak orang rela merogoh kocek yang tidak sedikit untuk membeli ponsel internet seperti Blackberry hanya untuk sekedar bisa update status Facebook di manapun. Rata-rata kinerja karyawan di perusahaan berkurang 1,5% karena Facebook. Itu hanya rata-rata. Kalau Anda kecanduan juga, angka Anda mungkin lebih dari 1,5%.

***

Saya mendengarkan sebuah obrolan ringan yang (ternyata) serius di jalan. Seorang manajer, (sepertinya), sedang berbicara santai dengan beberapa anak buahnya di jam makan siang. Anak buahnya bertanya apakah si manajer punya akun Facebook. Dijawab si manajer dengan antusias bahwa dia punya. Selesai makan siang si manajer meminta mereka untuk add dia sebagai contact mereka di Facebook.

Salah seorang anak buah bertanya iseng (agak kurang ajar juga), "Pak, bukankah Facebook mengurangi kinerja karyawan untuk perusahaan? Apalagi kalau koneksi internetnya dibayar oleh perusahaan?"

Si manajer membantah dengan sengit, "Mungkin benar survei yang membuktikan bahwa kinerja karyawan berkurang karena Facebook. Biar saja. Tapi lihat jangka panjang. Facebook lagi booming sekarang. Semua orang dari kota sampai kampung memakai Facebook. Tapi 3 atau 4 tahun lagi? Facebook akan kehilangan pesonanya, seperti Friendster misalkan. Pada saat itu, semua bekas pemakai Facebook akan memiliki skill komunikasi yang advanced. Mereka akan pintar berkomunikasi dan networking karena terbiasa bermain Facebook. Facebook akan hilang, tapi penggunanya akan semakin maju. Mereka akan menjadi resourceful karena pernah aktif dalam sebuah jejaring sosial di internet."

Anak buahnya manggut-manggut. Benar juga kata pak manajer, pikir mereka. Dengan kata lain, menurut teori pak manajer, kemampuan komunikasi mereka akan meningkat dengan Facebook. Mereka akan terbiasa mendapatkan informasi yang resourceful untuk pekerjaan dan kehidupan mereka karena Facebook. Benarkah demikian?

Saya teringat peristiwa bom Ritz-Carlton 17 Juli 2009. Tidak lama begitu bom meledak, terjadi kepanikan luar biasa yang beredar di Facebook. Dalam status update, banyak yang menulis bahwa sasaran terorisme bukan hanya Ritz-Carlton dan J. W. Marriot semata, tetapi seluruh Jakarta. Bandara Soekarno-Hatta juga menjadi sasaran bom. Status update pengguna Facebook yang lain menerangkan bahwa sebuah bom mobil yang akan menyerang bandara keburu meledak di pintu tol Kapuk, Jakarta Utara. Status update ini menyebar sampai menimbulkan kepanikan bom mobil-bom mobil lainnya sedang berkeliaran di jalanan Jakarta, menunggu untuk meledak serentak. Belakangan ketahuan bahwa paranoia di Facebook itu tidak terbukti, dan mobil yang meledak di pintu tol Kapuk adalah mobil tukang kembang yang mengalami korsleting, bukan teroris.

***

Itu adalah salah satu contoh bahwa Facebook tidak selalu membuat kita bijak dalam mentransfer informasi dan memilahnya, alih-alih membuat kita semakin tumpul. Parahnya, para jurnalis juga sudah mulai terjangkit virus facebook. Suatu hari di salah satu harian di ibukota, diberitakan tentang sebuah UFO yang melintas di atas Apartemen Pakubuwono Residence dan kawasan Blok M, Jakarta. Berita itu didasarkan pada foto yang didapat oleh wartawannya dari Facebook. Masyarakat heboh, sampai stasiun TV berita yang konon cukup kredibel pun ikut membahas tentang kedatangan UFO di Jakarta. Belakangan baru ketahuan bahwa berita itu adalah hoax setelah salah seorang mengaku bahwa foto piring terbang itu adalah hasil rekayasanya.

Bila wartawan dan lembaga pers memiliki kredibilitas, harusnya dia malu telah memuat berita tanpa ada sumber yang jelas dan dibuktikan kebenarannya. Memalukan bila seorang wartawan menjadikan Facebok sebagai sumber berita. Wartawan dan Pers adalah lembaga yang terhormat karena memiliki kode etik jurnalistik. Tidak sembarang orang bisa menjadi wartawan, karena harus melewati pelatihan tertentu. Kode etik jurnalistik itu meliputi banyak hal yang mencegah wartawan menyiarkan berita bohong dan pemutar-balikan fakta. Wartawan harusnya dalah orang-orang pilihan. Wartawan harusnya terlatih mencari sebenar-benarnya fakta dan melakukan investigasi. Dalam kode etik, misalkan, disebutkan bahwa wartawan harus memiliki sumber berita yang kredibel. Dalam kasus foto UFO, wartawan tidak mendapatkan si fotografer atau saksi mata, tapi dengan sembrono mengambil dari Facebook tanpa background check.

Menurut kaidah jurnalistik, pernyataan saksi kurang dari 2 orang tidak bisa dianggap fakta, melainkan opini. Dalam kasus ini, wartawan tersebut tidak mendapatkan satu saksipun, melainkan hanya mendapat kiriman foto. Seandainya wartawan mendapat satu bahan berita, misalkan sebuah foto, maka dia wajib melakukan investigasi atau pengecekan kebenaran dari bahan berita tersebut. Foto tersebut diberikan caption bahwa UFO terlihat melintasi angkasa di atas Apartemen Pakubuwono Residence. Padahal dalam foto itu terlihat jelas bahwa gedung itu bukan Apartemen Pakubuwono Residence, melainkan Apartemen Taman Anggrek. Saran saya untuk para wartawan, kurangi bermain Facebook dan lebih banyak investigasi di luar kantor. Kalau sempat, cobalah sekalian jalan-jalan ke Apartemen Pakubuwono dan Taman Anggrek.

***

Facebook juga membuat cara berkomunikasi kita makin aneh. Tidak ada batas yang jelas antara ruang publik dan privat. Batas antara komunikasi interpersonal dan publisitas, ataupun komunikasi massa, semakin kabur. Pernah salah seorang rekan sedang bepergian mengunjungi kolega-koleganya. Istrinya mungkin kesal karena dia belum juga pulang ke rumah malam-malam, menulis status di Facebook: "Papa cepat pulang! Sudah malam...". Eh, rekan saya balas status Facebook istrinya: "Ada apa sih Ma? Papa masih belum selesai ketemuan sama teman-teman nih?".

Ada yang salah dengan cara berkomunikasi kita melalui Facebook. Apabila seorang istri menulis di Facebook ingin suaminya cepat pulang, itu sama saja dengan dia membuat spanduk besar yang dipasang depan rumahnya bertuliskan: "Papa cepat pulang!". Puluhan bahkan ratusan orang yang tidak berhubungan dengan komunikasi suami istri itu bisa membacanya.

Harus diingat bahwa Facebook adalah media publik, dengan kita sendiri sebagai pemilik, redaktur, sekaligus editornya. Untuk itu kita harus berhati-hati dalam mengeluarkan uneg-uneg atau pendapat pribadi, karena akan menjadi hak publik untuk berkomentar atas uneg-uneg itu, bahkan menuntut Anda apabila tidak berkenan. Dalam kehidupan nyata, Anda memiliki peran-peran yang berbeda, peran sebagai pribadi, peran sebagai karyawan, peran sebagai atasan, peran sebagai profesional, peran sebagai suami/istri, dan lain-lain. Setiap peran memiliki konsekuensi tanggung jawab masing-masing. Di Facebook, kita hanya memiliki satu peran yang tidak bisa dibagi-bagi. Misalkan sepasang Bapak dan Anak sama-sama mempunyai akun Facebook. Bapak itu harus membatasi pesan yang dikirmnya lewat Facebook karena dia punya kewajiban moral seorang Bapak yang bijaksana apabila sang anak menjadi audience-nya.

Salah satu contoh konkret role crisis (krisis peran) yang dialami pengguna Facebook adalah kasus seorang anggota polisi di Palembang yang menulis status berisi pendapat pribadinya tentang kesatuannya di Facebook. Dia tidak sadar bahwa sebagai anggota Brimob, dia tidak berhak mempublikasikan pendapat pribadinya tanpa disetujui kesatuannya. Dia menulis kira-kira bahwa Polri tidak membutuhkan masyarakat, masyarakatlah yang membutuhkan Polri. Protes timbul dimana-mana, terutama karena sedang memburuknya citra polisi di masyarakat akibat dugaan suap. Akhirnya kasus ini menjadi skandal nasional. Si anggota Brimob tersebut mendapat sanksi dan meminta maaf.

Seorang kenalan saya bercerita bahwa rekannya, bekerja di sebuah cabang perusahaan di Sulawesi, menulis di status Facebooknya: "Perusahaan ini tidak profesional! Gaji kok bisa telat?". Keesokan harinya dia ditelepon kantor pusatnya di Jakarta untuk menerima Surat Peringatan (SP), hanya gara-gara mencurahkan perasaannya di Facebook. Perusahaannya merasa nama baiknya tercemar karena karyawan tersebut mencantumkan info di Facebook nama perusahaan tempat dia bekerja. Dia sudah selangkah lagi untuk dipecat, apabila tidak diselamatkan oleh salah satu atasannya yang memohon keringanan buatnya. Kasus lain lebih memprihatinkan. Pelajar SMA di Bogor melaporkan sesama pelajar ke kantor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik gara-gara komentar-komentar di Facebook! Anda nilai sendiri, apakah ini yang dinamakan skill komunikasi yang advanced. Apa Facebook membuat kita lebih cerdas atau sebaliknya.

***

Kebanyakan dari kita bukanlah komunikator yang baik. Kita sering tidak efektif dalam berkomunikasi dan tidak sadar audience. Kita juga sering lupa memperhitungkan dampak dari pesan kita. Dengan Facebook, seakan kita menemukan kotak Pandora. Begitu terbuka dan lepas, kita menjadi tidak terkontrol. Wajar saja bila Facebook dilarang di Cina dan Iran. Status quo bisa goyah hanya karena status update yang liar.

Eh, sudah jam 12! Mohon maaf rekan-rekan, saya tinggal dulu. Saya mau main social networking game dulu di Internet. Saya ikut game yang berperan sebagai mafia-mafian di Facebook. Game ini cukup mengasyikkan, siang malam saya memainkannya. Kalau Anda punya akun Facebook, add saya ya? Nanti kita bisa bermain perang mafia bersama. Kalau saya kecanduan Facebook juga, ya sudahlah. Paling tidak, Anda jadi teman saya. Hahaha...

(Sandal Jepit) FCUK

Hari itu Jumat. Saya sedang siap-siap pergi ke masjid untuk shalat Jumat ketika tiba-tiba (mantan) boss saya datang.

"Henk, punya sandal jepit nggak?" tanya boss.

"Nggak Pak. Buat Apa?" Saya bertanya balik.

"Buat dipakai Jumatan dong!"

Saya melongo, dan boss pergi ke ruangan sebelah, berusaha cari pinjaman sandal jepit ke orang lain. Dalam hati saya berpikir mungkinkah boss saya mulai giat sholat Jumat lagi. Alhamdulillah.

***

Hari Jumat kemudian, dia sudah siap untuk pergi shalat Jumat lagi. Kali ini, dia tidak mencari pinjaman sandal jepit. Saya perhatikan dia sudah memiliki sandal jepit baru.

Mulai saat itu, sandal jepit baru itu selalu ada di ruangannya. Karena iseng, diam-diam saya suka memperhatikan sandal jepit itu. Sandal jepit biru itu seperti sandal jepit lain pada umumnya. Ada tulisan yang terdiri dari empat huruf kecil yang menghiasi sandal jepit itu: "fcuk".

Ha? FCUK?

Saya takjub. Ada sandal jepit merek FCUK?

***

FCUK adalah brand fashion terkenal dari Inggris. Nama aslinya adalah French Connection, disingkat menjadi FCUK agar mudah melekat di benak konsumennya. Di kalangan fashion retail dunia, FCUK mendapat respon yang baik dari pasar. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa outletnya. Kaos FCUK cukup populer dipakai di Jakarta. Kalau Anda belum pernah melihatnya, ijinkan saya menggambarkannya untuk Anda. Kaos FCUK yang populer di Jakarta adalah t-shirt dengan print tulisan "fcuk" di dada. Itu saja. Itu sudah cukup menggambarkannya. Sesederhana apapun, Anda perlu merogoh kocek Rp 400.000 untuk mendapatkan kaos itu.

Apa bedanya dengan t-shirts lain? Hanya tulisan empat huruf itu saja. Anda dapat mendapatkan kaos polos dengan kualitas yang bagus hanya dengan uang sekitar Rp 80.000-an. Tetapi bila kaos itu ditambahkan empat huruf "fcuk", nilainya menjadi lima kali lipat. Berapa harga sandal jepit biasa yang ditambahkan empat huruf itu? Saya tidak tahu pasti, tapi teman saya membisikkan sekitar Rp 150.000-an. Kalau benar, itu berarti 10 kali lipat harga sandal jepit saya.

Apa arti empat huruf "f-c-u-k" di kaos itu? Hanya satu jawabannya: Lifestyle. Kita tidak sekedar membeli alas kaki atau penutup badan. Kita membeli gaya hidup. Lifestyle membuat kita menjadi konsumen yang loyal. Kita membayar lebih mahal untuk kaos yang bertuliskan "fcuk". Menurut Anda, apakah ini smart buying, ataukah sekedar kekonyolan?

Boss saya adalah contoh hidup dari seorang duta besar lifestyle. Semua barang yang dikonsumsinya dalam hidup selalu berdasarkan kepribadian dan gaya yang dia pilih. Branding adalah sarananya memosisikan dirinya di dunia. Dia tak pernah menginjakkan kaki ke warteg, tapi bila kita mengisi kopi warteg ke dalam gelas Starbucks, mungkin dia akan meminumnya.

***

Inilah manusia modern. Manusia yang dikuasai oleh gaya hidup. Siapakah sejatinya manusia modern tersebut? Konsumen. Kita menjadi budak dari gaya hidup. Kita menjadi lebih manusia ketika kita lebih banyak mengonsumsi. Semakin banyak kita mengonsumsi, semakin terhormat kita dalam peradaban manusia. Televisi, majalah, dan media massa adalah alat promosi gaya hidup, yang ditujukan agar kita membeli dan membeli lagi. Tak begitu penting apakah kita benar-benar membutuhkan barang yang kita beli.

Selamat datang di dunia yang dangkal ini. Tempat Anda di dunia ini ditentukan oleh apa yang Anda konsumsi. Silakan Anda membeli televisi warna, DVD, coffeemaker, sofa, iPod, ponsel, mobil, fast food/fine dining, sepatu Bally, kacamata Oakley, celana dalam Calvin Klein, dan sebagainya. Arti hidup Anda tidak diukur berdasarkan sumbangan Anda terhadap kemanusiaan, tapi berdasarkan merek mobil apa yang Anda kendarai. Sedekah Anda di masjid tidak lebih penting dari sandal jepit (FCUK).

Seandainya kita bisa membayangkan hidup tanpa iklan, tanpa televisi, tanpa gaya hidup, tanpa konsumsi berlebihan. Ah, tentu saja bisa. Coba lihat di berita, cara hidup pengungsi korban gempa. Bagi mereka, sepatu Bally tidak lebih berguna dari semangkuk beras. Mie instan lebih penting dari tas Prada. Anda disambut di antara mereka bukan karena kacamata Oakley Anda, tapi karena ketulusan hati Anda.

Lifestyle seperti kanker. Kita lahir ke dunia ini tanpa style apa-apa. Ketika dewasa, kita mulai digerogoti oleh lifestyle. Kita bisa stress, mati terbunuh, atau menyembah uang karena lifestyle. It's the world of style over content. Tidak penting isinya, yang penting gayanya. Bungkus lebih penting dari isi. Kadang kita lebih berkonsentrasi memerindah bungkus, tapi lupa bahwa isinya sudah busuk sedemikian rupa.

***

Suatu saat boss saya tersebut cerita bahwa dia baru saja beli sepatu olah raga seharga Rp 4 juta di salah satu butik. Mereknya saya lupa, tapi harga sudah mengindikasikan bahwa mereknya pasti internasional. Hari pertama dipakai, hujan turun deras. Dia takut sepatu barunya kebasahan meskipun dia membawa payung dan mengendarai mobil. Akhirnya dia menunggu 2 jam di kantor agar hujan reda. Ini adalah kanker lifestyle. Sepatunya lebih penting dari dirinya sendiri, seolah dia dilahirkan ke dunia kembar siam dengan sepatu olah raga itu.

Harusnya ada peringatan pemerintah: lifestyle membuat Anda bodoh, tidak peka, dangkal, terjajah, buta, kekanak-kanakan, tidak tenang, darah tinggi, sakit jantung, kegemukan/kekurusan, kecanduan, munafik, dan dapat membunuh Anda. Dunia ini memang sudah sedemikian sakit. Kita sedang diperbudak, tapi kita tidak sadar. Kita tidak tahu siapa yang menjajah.

Sekarang tanyakan ke diri sendiri, apa jadinya Anda tanpa lifestyle Anda. Apakah Anda orang yang lebih baik atau orang yang lebih buruk? Orang paling bahagia bukanlah orang yang mengejar banyak hal dalam hidupnya, orang yang bahagia adalah orang yang memiliki lebih sedikit keinginan. Seperti cermin ajaib dalam buku Harry Potter. Setiap orang yang bercermin ke cermin ajaib itu melihat diri mereka menjadi apapun yang mereka inginkan dan impikan. Sementara orang yang bahagia bercermin ke cermin ajaib itu hanya melihat bayangan dirinya sendiri, apa adanya.

Kita perlu melihat ke dalam diri sendiri, apakah sudah sedemikian rusak oleh lifestyle, ataukah masih bisa diperbaiki. Lifestyle hanyalah pelengkap, bukan tujuan hidup, bukan pula Tuhan. Saya sendiri punya pekerjaan berat, untuk tetap menjadi manusia yang baik, di balik lifestyle yang saya anut. Saya berusaha untuk tetap punya hati nurani, tanpa terjajah oleh sandal jepit Swallow saya.