Sungguh tidak mudah tinggal di kota besar yang kacau, semrawut, dan tidak manusiawi. Kota dimana kita harus berebut udara yang pliket dan bau minyak tanah. Uang, harta, dan kekuasaan dijadikan tuhan, juga sebaliknya, Tuhan dijadikan harta dan kekuasaan. Kriminalitas adalah arisan. Kota penuh dengan mata-mata nanar yang tak bisa dibedakan, apakah pembunuh berdarah dingin atau orang-orang saleh. Di kota ini, rasa malu dan gotong royong adalah nilai purbakala. Tidak ada lagi kesantunan dan kebesaran hati terlihat di kota yang menjulang ini.

Tidak mudah menyuarakan hati nurani di kota ini. Mereka selalu terpojok di sudut-sudut kota, terdiam dalam hati. Tapi saya yakin masih banyak yang mempunyai hati nurani. Sebelum jiwa saya terganggu karena menjadi penduduk kota ini, saya menulis jurnal ini. Jurnal ini bukan mengenai benar atau salah. Bukan tentang uang atau kuasa. Ini adalah sekedar catatan, dimana seorang warga kota berusaha tetap waras. Ini adalah catatan yang terpojok di pinggiran kota. Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, saya berterima kasih. Mari kita syukuri perbedaan di antara kita.

Sunday, August 14, 2011

Menjadi (Atau Tidak Menjadi) Commuter

Saya hampir setiap hari naik KRL (Kereta Listrik) Jakarta-Depok untuk menuju ke kantor. Dulu setiap naik KRL, saya menghabiskan waktu dengan membaca buku. Tak terasa, buku setebal apapun habis terbaca, karena memang situasi di KRL cukup enak untuk membaca bagi saya, meskipun selalu berdiri. Saya makin kaya bacaan, karena perjalanan saya sebagai seorang commuter memakan waktu cukup lama.

Itu dulu, ketika masih ada KRL Ekspres. Sekarang KRL Ekspres sudah ditiadakan, digantikan KRL Commuter Line. KRL Ekspres hanya berhenti di stasiun besar tertentu, sedangkan KRL Commuter Line meskipun ber-AC berhenti di setiap stasiun, seperti kereta ekonomi. Memang harga lebih murah, KRL Ekspress dari Bogor Rp 11.000 dan dari Depok/Bekasi Rp 9.000, sedangkan KRL Commuter Line dari Bogor Rp 7.000, dari Depok Rp 6.000, dan dari Bekasi Rp 6.500. Akan tetapi kenyamanan dan kecepatan jauh berkurang. Jarak tempuh bertambah antara setengah sampai tiga perempat jam. Sudah rumah jauh, capek, kita harus bangun lebih pagi lagi untuk mencapai kantor tepat waktu. Dan sekarang, saya tidak bisa lagi baca buku di kereta. Bagaimana tidak, saking padatnya untuk bergerak saja susah? KRL Commuter Line sekarang sudah seperti lontong yang kebanyakan beras, penumpangnya membludak. Kadang sekedar untuk bergerak saja susah. Pintu otomatis juga kadang tidak bisa tertutup tertahan oleh penumpang yang membludak sampai pintu. Dengan penumpang sepadat itu, AC tidak akan terasa. Akhirnya tidak ada bedanya dengan KRL Ekonomi dengan tarif Rp 2.000, sama-sama padat, panas, dan lama.

Hari demi hari, kita seperti dibiasakan dengan siksaan ini. Apa daya, kita memang sebagai commuter, mencari cara yang lebih sulit untuk bekerja. Tapi itu tak seperti kita boleh memilih. Andai kita bisa memilih, kita akan memilih kantor dan rumah yang berdekatan. Tapi ini Jakarta Bung! Sebagian besar pekerja yang di Jakarta adalah commuter. Tidak mudah mencari tempat tinggal yang terjangkau dan memiliki livelihood yang nyaman di Jakarta. Akhirnya kita lari ke pinggiran. Di pinggiran pun sudah mulai sesak, seperti Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, malah saya sering bertemu pekerja di Jakarta yang tinggal di Serang dan Kerawang! Mereka, seperti saya, tiap hari berjuang mengatasi buruknya transportasi Jabodetabek.

Jangankan jalan raya biasa, jalan tol pun macet setiap jam berangkat dan pulang kerja. Ini mengindikasikan bahwa penduduk Jakarta memiliki mobilitas yang luar biasa tinggi, sedangkan sarana transportasi begitu buruk. Saya pernah mencoba naik bis umum dari rumah ke kantor, ternyata memakan waktu 3 jam (sudah termasuk lewat tol). Bayangkan apabila tiap hari pulang pergi, maka saya menghabiskan waktu 6 jam setiap hari di jalanan. 6 jam itu adalah waktu yang hilang dalam hidup saya. Apabila dikalikan hari kerja saya (saya kerja 6 hari seminggu) maka saya mempunya waktu yang hilang sebanyak 1.878 jam setahun. Wow!

Mobilitas tinggi, sarana transportasi yang buruk. Bayangkan tubuh manusia yang mempunyai tekanan darah tinggi, tapi pembuluh darahnya dipenuhi kolesterol. Lama-lama kota ini bisa stroke. Ternyata bisa dimaklumi bila penduduk kota ini pemarah dan anarkis. Mereka stress. Harus ada perbaikan dan perubahan menyeluruh.

Jakarta sebagai kota megapolitan, jalan raya selebar dan setinggi dinosaurus, tapi sebenarnya tidak memiliki masterplan transportasi massal yang cepat dan nyaman. Busway tidak menyelesaikan masalah, karena terjebak macet juga, dan daya tampungnya sangat kecil. Akhirnya pemerintah Jakarta hanya mengandalkan Metro Mini lagi Metro Mini lagi. Agak memalukan memang, ketika kota besar lain di dunia sudah membangun subway dan MRT, kita masih terjebak dengan Metro Mini yang panas, busuk, dan karatan.

Sebenarnya KRL bisa dijadikan solusi. Akan tetapi ternyata KRL belum cukup. KRL tidak dibangun dengan baik oleh pemerintah. Dari itikadnya saja terlihat, misalkan KRL hanya beli bekas dari Jepang. Tidak ada jalur baru yang dibuat, tidak ada kereta baru, stasiun dibiarkan tidak terurus. Apalagi investasi yang benar-benar serius dari pemerintah untuk membangun jaringan KRL yang diandalkan di Jakarta, menunggu lebaran kuda.

Kalau mau serius, harusnya pemerintah menggelontorkan investasi besar di KRL. Anda pikir Singapura membangun dan merawat Mass Rapid Transit-nya dengan uang recehan? Toh hasilnya luar biasa. Kita tidak punya uang? Lihat jalan raya menjulang di Jakarta, ada flyover, underpass, jalan tol, dan sebagainya, apa mereka murah dilihat dari pembangunan dan perawatannya? Toh kita bisa membangun semua itu. Kita tidak punya uang untuk membangun jaringan MRT seperti Singapura? Lihat Bangkok, kota yang lebih kecil dari Jakarta, ternyata dia mampu. Kita bukannya tidak mampu, kita 'sebodo amat'.

Salah satu contoh kurangnya itikad pemerintah membangun KRL sebagai alternatif pengurai kemacetan di Jakarta adalah masalah tarif. Pemerintah ngotot mempertahankan kereta ekonomi untuk alasan populis. Harus dilihat bahwa KRL ekonomi adalah sumber masalah, karena KRL ekonomi sangat tidak aman, sering rusak karena umurnya yang tua, dan pendapatannya di bawah biaya operasional. Penumpangnya pun sangat tidak tertib dan tidak jarang yang tidak membayar karcis. Kereta lain sering terhambat karena KRL menemui masalah. Bukannya saya anti terhadap orang ekonomi lemah, tapi ada sistem yang sangat salah di sini.

KRL Ekonomi mempunyai tarif yang sangat murah, Rp 2.000 sudah sampai Bogor. Itupun banyak yang naik secara gratis karena selama saya naik beberapa kali, tidak ada pemeriksaan karcis. Di KRL Ekonomi hampir tidak ada aturan, orang bebas mau apapun. Berjualan boleh, naik atap boleh, memecahkan kaca boleh, merokok juga boleh. Dan hampir setiap laki-laki di KRL Ekonomi merokok. Saya perhatikan, sepanjang perjalanan, mereka merokok rata-rata 3 batang. Harga rokok di warung per batang adalah Rp 1.000 rupiah, berarti mereka habis Rp 3.000 untuk rokok saja. Tiket saja Rp. 2.000. Apakah mereka tidak mampu membeli apabila tiket disamaratakan menjadi katakanlah Rp 5.000? Kalau pemerintah mensubsidi para perokok ini, sebenarnya pemerintah kehilangan banyak sekali pendapatan, yang harusnya bisa membantu untuk membangun KRL dan stasiun yang lebih baik. Anda bayangkan, jarak Jakarta-Bogor adalah sekitar 50 km. Mana ada transportasi lain (se pro rakyatnya) yang hanya membayar Rp 2.000 untuk jarak 50 km? Bagaimana KRL Jakarta tidak rugi?

Subsidi harusnya diberikan per individu secara tercatat. Inilah kemalasan pemerintah. Keringanan bayar kuliah saja harus ada surat keterangan tidak mampu. Lagipula ada sistem ekonomi yang salah disini. Pekerja berpenghasilan rendah tidak seharusnya tinggal semakin jauh dari tempat kerja. Pekerja berpenghasilan tinggi justru yang sebaiknya tinggal di luar kota (kalau di Amerika Serikat disebut dengan daerah Suburban). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak punya kapasitas untuk menjadi adil dalam masalah tata ruang kota. Apakah pemerintah tidak memikirkan orang yang menempuh jarak 50 km hanya untuk mendapatkan penghasilan sekedar UMR?

Walhasil, semua orang, tua muda, miskin kaya, pria wanita, bahkan anak sekolah, menjadi commuter. Betapa berat hidup di Jakarta (dan sekitarnya). Sekarang saya semakin terdesak di KRL Commuter Line. KRL Commuter Line yang berhenti setiap stasiun sendiri menunjukkan ketidakpahaman pengelola akan konsep commuter. Commuter adalah pekerja yang menghabiskan waktu tiap hari menghabiskan waktu cukup banyak untuk menempuh jarak yang jauh dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Itu berarti para commuter hanya naik dari satu titik yang pasti dan turun di titik lain yang pasti. Mereka tidak perlu berhenti di setiap tempat. Seharusnya Commuter Line adalah seperti KRL Ekspres yang hanya berhenti di tempat tertentu. Mereka bukan pelancong.

Semakin berat sekarang menjadi commuter di Jakarta. Tiap hari, semakin banyak pula para commuter sehingga persaingan di jalan semakin berat. Akhirnya, yang bisa memilih, memilih untuk tidak menjadi commuter. Yang lain, harus menjalaninya dengan terpaksa. Tiap hari, lho?

Duh nasib commuter, kok muter-muter..?