Sungguh tidak mudah tinggal di kota besar yang kacau, semrawut, dan tidak manusiawi. Kota dimana kita harus berebut udara yang pliket dan bau minyak tanah. Uang, harta, dan kekuasaan dijadikan tuhan, juga sebaliknya, Tuhan dijadikan harta dan kekuasaan. Kriminalitas adalah arisan. Kota penuh dengan mata-mata nanar yang tak bisa dibedakan, apakah pembunuh berdarah dingin atau orang-orang saleh. Di kota ini, rasa malu dan gotong royong adalah nilai purbakala. Tidak ada lagi kesantunan dan kebesaran hati terlihat di kota yang menjulang ini.

Tidak mudah menyuarakan hati nurani di kota ini. Mereka selalu terpojok di sudut-sudut kota, terdiam dalam hati. Tapi saya yakin masih banyak yang mempunyai hati nurani. Sebelum jiwa saya terganggu karena menjadi penduduk kota ini, saya menulis jurnal ini. Jurnal ini bukan mengenai benar atau salah. Bukan tentang uang atau kuasa. Ini adalah sekedar catatan, dimana seorang warga kota berusaha tetap waras. Ini adalah catatan yang terpojok di pinggiran kota. Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, saya berterima kasih. Mari kita syukuri perbedaan di antara kita.

Wednesday, March 9, 2011

Seandainya Saya Seorang Buruh Di Guangzhou

Seorang rekan belakangan ini baru pulang dari Cina. Dia pergi ke Guangzhou untuk menemui temannya, seorang pengusaha garmen lokal. Rekan saya sempat berkunjung ke pabriknya, dan kemudian berbagi pengalaman kepada saya tentang apa yang terjadi di Cina.

Pengusaha Guangzhou yang cukup sukses tersebut mempekerjakan sekitar 50 orang pekerja/buruh. Perusahaannya mengadopsi jam kerja yang sangat normal di RRC, tapi terdengar absurd bagi kita orang Indonesia. Pabrik itu tidak memberlakukan shift. Pekerjanya mulai bekerja pada jam 8 pagi.

Jam 12 mereka mulai istirahat makan siang selama 2 jam. Anehnya, kebanyakan pekerja hanya menghabiskan waktu 15 menit untuk makan siang. Sisa waktu istirahat 1 jam 45 menit mereka pakai untuk tidur. Benar-benar tidur siang yang nyenyak.

Jam 2 mereka bangun dari tidur dan mulai bekerja kembali. Sampai jam 6, ternyata mereka belum beranjak pulang ke rumah. Mereka hanya istirahat untuk makan malam, dengan 15 menit dipakai makan malam dan 1 jam 45 menit dipakai tidur kembali.

Jam 8 malam, mereka kembali bekerja dengan tekun. Kapan mereka bisa pulang ke rumah? Jam 11 malam adalah jam pulang kerja. Ini adalah jam kerja yang umum diberlakukan di seluruh Cina, bukan hanya karangan pabrik tersebut.

Ini berlangsung tiap hari selama seminggu penuh. Ya, seminggu penuh! Pekerja pabrik itu tetap bekerja di hari Sabtu dan Minggu. Mereka hanya dapat libur 1 hari dalam sebulan. Mereka baru dapat libur tambahan kala hari-hari besar dan waktu tahun baru Cina mereka bisa mendapatkan libur selama 2 minggu atau lebih.

Saya tidak bisa berkata-kata mendengar cerita tersebut. Antara kagum dan kasihan. Rekan saya menambahkan, buruh-buruh itu adalah pekerja terampil dengan profesionalisme tinggi. Mereka tidak akan bicara dengan sesamanya waktu kerja kecuali untuk urusan pekerjaan. Mereka tidak mengobrol, mendengarkan musik, merokok di ruangan kerja, makan, minum, ataupun meninggalkan station-nya barang semenit pun.

Kita selalu mendengar tentang keajaiban Cina dalam dunia ekonomi. Cina memiliki pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di dunia, 9% selama 25 tahun. Dia memiliki ekspor terbesar di dunia. Pertumbuhan Cina ini dimulai dari Deng Xiaoping, yang melakukan reformasi besar-besaran. Mereka melakukan perampingan dan pelonggaran birokrasi, pembukaan investasi yang berbasis pasar, penguasaan industri dan ekspor dunia, dan pemberian hukuman seberat-beratnya pada para koruptor. Wajar ekonomi mereka tumbuh luar biasa.

Juga wajar dengan pola kerja seperti itu, mereka akan melibas habis pasar Indonesia. Tak tanggung-tanggung, saya baca koran tadi pagi, baru beberapa minggu perdagangan bebas RI-RRC dibuka, industri aksesoris manik-manik lokal sudah tergerus sampai 40 persen. Pasar Tanah Abang, pusat komersial kain seluruh Indonesia tinggal menunggu waktu untuk dikuasai oleh pengusaha dari Cina. Kain dari Cina mulai membanjiri Tanah Abang. Mereka lebih murah, lebih banyak, dan salesperson yang datang langsung dari RRC di Tanah Abang lebih agresif. Menurut desas-desus, satu lantai dari pasar Tanah Abang sudah diborong habis oleh para pengusaha RRC. Peniti yang kita pakai sekarang adalah buatan Cina. Anda bayangkan, negara Indonesia sebesar ini tidak mampu mencukupi kebutuhan rakyatnya sendiri akan peniti?

Harus dipahami bahwa RRC adalah negara komunis. Mereka tidak dianjurkan untuk beragama. Berkeluarga juga dibatasi. Kepemilikan pribadi diatur negara. Tujuan hidup mereka adalah bekerja. Menurut filosofi komunisme, manusia bisa dilihat dalam 2 hal, bagaimana dia melakukan produksi (bekerja), dan bagaimana hubungan dari produksi-produksi tersebut. Manusia menjadi berarti apabila dia bekerja, dan masyarakat tempat kita bernaung adalah relasi untuk melakukan produksi. Tanpa produksi, tidak akan ada masyarakat, dan kita tidak bisa menjadi manusia seutuhnya. Untuk itu mereka bekerja, bekerja, dan bekerja lebih banyak lagi. Mereka tidak dianjurkan shalat 5 waktu sehari, atau pergi ke gereja tiap hari minggu. Mereka tidak perlu banyak waktu untuk dihabiskan dengan keluarga tercinta. Mereka bekerja seperti kesurupan. Bagaimana Indonesia bisa bersaing dengan manusia-manusia seperti ini?

Dalam benak buruh Cina tertanam logika bahwa mereka harus efisien dan produktif agar bisa hidup layak. Bila tidak produktif, mereka akan mati. Ini masalah survival. Ada anggapan umum mengenai karakter bahwa penduduk negara 4 musim lebih tinggi determinasinya dibandingkan penduduk negara 2 musim. Apalagi dibandingkan dengan Indonesia, negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Seorang tuna wisma di New York misalkan, bisa kelaparan dan dan mati kedinginan hanya dalam hitungan jam saat salju turun, bila gagal menemukan penghangat tubuh atau tempat berlindung. Indonesia memiliki musim yang bersahabat dan kekayaan alam yang melimpah. Etos kerja negara 4 musim pun lebih keras dibandingkan negara 2 musim. Di Cina, Anda akan menemukan pekerja-pekerja paling determinan di dunia. Terlepas dari masalah bahwa mereka diperas oleh negara dan pengusaha.

Ya, ironis bahwa mereka diperas oleh korporasi pemerintah dan pengusaha. Pekerja Cina bekerja seperti kesurupan, siang malam, tapi digaji sangat kecil. Pengusaha yang ambil untung, ditambah insentif ekspor dari pemerintah. Ambisi pertumbuhan ekonomi dari Cina melenyapkan nilai yang lain, yaitu etika. Mengapa produk Cina begitu murah? Karena mereka tidak menyertakan etika dalam membangun ekonomi. Mereka memperlakukan buruh seperti robot, padahal tinggal di negara komunis yang seharusnya buruh berkuasa dan sejahtera. Pekerja banting tulang dengan gaji rendah, bilamana tidak puas dengan yang diterima, ratusan orang sudah mengantre menggantikan posisi mereka. Cina berdagang tapi tidak peduli dengan konsumen. Atas nama profit, mereka mencampur susu dengan melamin yang beracun. Mereka menggunakan cat berbahan timbal untuk produk mainan anak-anak, yang bisa merusak syaraf dan otak anak-anak yang menghirupnya. Mereka sering mencuri desain dan tak peduli hak cipta. Jangan berpikir tentang tanggung jawab terhadap konsumen dan layanan purna jual, masalah spesifikasi produk saja sering berbohong.

Bagaimana bersaing dengan mereka? Memakai hati. Itu yang tidak dipakai oleh mereka. Ambil contoh produk batik. Kita menciptakan batik. Mereka juga ikut membuat batik, meniru, dengan harga lebih murah. Tapi mereka tidak memakai hati. Kita bisa. Kita membuat batik dengan sepenuh hati, sebagai kebanggaan kita.

Tentu saja kita harus meniru semangat dan profesionalisme mereka. Kita harus membuktikan bahwa kita bukan bangsa pemalas dan pengalah. Kita harus bekerja lebih keras dari yang sekarang kita lakukan. Bukan sebagai robot, tapi pekerja yang mempunyai hati. Kita juga harus bersatu, tidak seperti sebelumnya. Kita cinta negeri ini, kita cinta produk negeri ini, dan kita jangan rela negeri ini dikuasai negara asing manapun.

Ketertinggalan kita selama ini cukup parah. Tahun 50-an, Indonesia mulai membuka sentra industri logam rakyat (di Tegal) dan Cina juga mulai merintis. Saat itu cangkul dan arit buatan Tegal lebih unggul daripada buatan Cina. Sekarang, industri logam rakyat yang sama di RRC sudah memproduksi traktor, sementara di Tegal masih memproduksi cangkul. Kita punya kelemahan yang cukup kronis. Kebijakan ekonomi yang tidak terpadu, korupsi di pemerintah, lemahnya aturan dan penegakan hukum, oportunisnya pengusaha, dan minimnya insentif usaha, membuat kita semakin terpuruk. Tanpa kerja 15 jam sehari pun kita bisa menjadi negara maju apabila ekonomi biaya tinggi benar-benar kita tiadakan. Di Cina, baik pejabat, polisi, hakim, maupun pegawai negeri honorer, bila menerima suap, diancam hukuman mati. Di Indonesia, negara yang sangat taat agama sampai saking taatnya kadang rela bertempur dengan agama lain, orang tidak malu berebut meminta sogokan. Ini etos kerja yang paling rendah dan mentalitas tempe.

Orang Guangzhou tidak makan tempe. Guangzhou penghasil baja, orang-orangnya juga bermental baja. Apabila mereka pergi ke Indonesia, mungkin mereka akan terheran-heran dengan keadaan disini yang pelan bekerja tapi repot mengurus hal-hal lain. Seandainya saya seorang buruh di Guangzhou, saya akan pindah ke Indonesia, bekerja keras disini, memiliki kehidupan yang nyaman dengan keluarga tercinta dan menjadi sebenar-benarnya manusia. Seandainya saya orang Indonesia, saya akan mengadopsi prinsip orang Guangzhou dengan sedikit modifikasi, bahwa saya harus efisien dan produktif, agar saya bisa hidup makmur. Saya menolak keras ekonomi saya dan negara ini dikuasai oleh negara lain.

Tapi, saya memang orang Indonesia.

No comments:

Post a Comment