Pernahkah Anda terjebak dalam Arus Mudik setiap tahun? Sejak merantau, tahun 1995 saya mulai merasakan Mudik tiap Lebaran. Dan ternyata Mudik adalah pengalaman 'neraka' buat saya. Bayangkan, puluhan juta orang bergerak dalam waktu yang relatif sama, kemudian kembali dalam jumlah yang kadang lebih besar lagi.
Jumlah stasiun, terminal bis, pelabuhan, tetap sama saja, hanya orangnya yang membludak puluhan kali lipat. Kami harus berebut fasilitas dan alat transportasi yang sama, yang tidak akan pernah memadai. Jalan mungkin bertambah, tapi kota-kota kecil yang dilalui tetap segitu-segitu juga.
Dulu sebelum tiket kereta online, 10 hari sebelum mudik, biasanya setelah sahur kami bergegas ke stasiun kereta dan mulai antri tiket depan loket. Loket baru dibuka pukul 8, tapi dini hari antrian sudah mengular, kadang sering kehabisan tiket. Bahkan ada yang menginap di depan loket. Harga tiket sudah lebih mahal kira-kira 20% dari biasanya.
Pernah suatu tahun (mungkin 2004), saya nggak dapat tiket, saya pergi ke Terminal Pulogadung jam 6 sore, mencoba cari Bis apa saja yang menuju Timur. Terminal sudah penuh orang, tapi tidak ada bis satupun. Setiap bis datang, orang langsung berebutan dengan kasar, tanpa peduli sopan-santun. Nggak ada ceritanya orang Indonesia ramah-tamah dan gotong-royong seperti dalam buku pelajaran SD. Jam 11 malam saya dan teman saya baru dapat bis tujuan Semarang (padahal tujuan kami ke Surabaya). Kami naik bis dan tertidur, jam 5 pagi kami terbangun, ternyata masih sampai Cikarang, saat itu jalur Utara macet total karena jutaan orang Mudik berbarengan. Sampai Semarang, kami pindah bis jurusan Surabaya, dan dari situ saya lanjut ke Mojokerto. Total 20 jam saya di jalan, badan seperti remuk redam.
Ketika dulu saya masih kuliah di Bandung, saya pernah ikut Arus Balik Mudik dari Kediri, naik kereta ekonomi Kahuripan (kira-kira 1997). Tidak ada nomer tempat duduk untuk kereta ekonomi saat itu, jadi kami berebutan, siapa kuat, dia dapat duduk. Jadwal berangkat kereta jam 2 dari stasiun Kediri, tapi jam 8 pagi orang sudah masuk kereta dan mematok tempat duduk. Saya tidak kebagian, akhirnya saya duduk di lantai kereta. Kereta berhenti di tiap stasiun, semakin lama penumpang semakin membludak. Sampai Madiun, saya sudah terjepit di lantai, tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan toilet pun penuh sesak oleh penumpang. Udara sangat pengap dan panas itu saya nikmati sampai 14 jam tiba di Bandung. Sesampainya di tujuan, perlu beberapa saat supaya saya bisa bangun, karena otot kaki seperti mati rasa. Itu benar-benar kereta maut buat saya.
Ngomong-ngomong tentang kereta maut, teman saya dari Nganjuk pernah cerita tentang kenalan di kampungnya, seorang ART yang kerja di Jakarta. Pas Arus Balik Mudik, dia harus kembali bekerja di Jakarta, dia naik Kereta Ekonomi tujuan Senen. Dia membawa anak bayinya, naik dari Stasiun Nganjuk. Ternyata kereta sudah penuh sekali oleh penumpang, mereka terdesak-desak di dalam. Bayinya mulai rewel karena pengap dan panas, menangis terus, dia dekap saja. Setelah berjam-jam, sepertinya bayinya tertidur karena anteng. Sesampainya di stasiun tujuan, bayinya ternyata sudah meninggal. Tragis ya?
Ada 2 hal yang menyebabkan Mudik menjadi bagian dari budaya kita. Pertama, ekonomi yang tidak merata, semua orang dari timur merasa mencari rejeki di barat, di ibukota, lebih mudah. Akibatnya ketimpangan ekonomi, ibukota dan sekitarnya diisi oleh para pendatang.
Kedua, alasan budaya keagamaan, Idul Fitri dalam budaya kita harus sholat ied bersama keluarga di kampung halaman. Ini yang khas Indonesia, karena di Arab Saudi atau negara-negara Islam lain tidak ada tradisi Mudik saat Idul Fitri. Di jazirah Arab, Idul Adha biasanya lebih meriah dibandingkan Idul Fitri, tapi juga tidak ada Mudik. Mudik adalah kejadian luar biasa perpindahan orang dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan setahun sekali, istilah ilmiahnya adalah eksodus. Setiap eksodus pasti banyak permasalahan.
Yang memiliki tradisi Mudik seperti kita adalah negara Cina, pada saat tahun baru Imlek, disebut dengan Chunyun. Chunyun adalah migrasi tahunan terbesar di dunia. Di Vietnam, perayaan Tahun Baru Tet juga dibarengi tradisi mudik yang disebut Ve Que. Dari awal wabah Covid-19, Pemerintah Cina sudah melarang Chunyun atau Mudik. Perpindahan orang dalam jumlah besar itu berbahaya dalam menimbulkan kerumunan, dan menyulitkan kontrol terhadap penyebaran infeksi. Dengan puluhan juta orang berpindah menuju arah yang sama dalam waktu yang bersamaan, tidak akan mungkin diterapkan protokol kesehatan yang ketat. Kasus Covid-19 bisa meledak tanpa kendali di seluruh daerah tujuan.
Ssbagai renungan: apa tujuan kita Mudik? Apakah karena kerinduan terhadap keluarga dan kampung halaman? Kalau masalah rindu, tentunya tidak harus bersamaan di hari Idul Fitri, namanya juga rindu, bisa setahun penuh. Apakah Mudik lebih besar manfaat dari mudharatnya? Jaman sekarang bahkan mudik bukan monopoli yang merayakan Idul Fitri saja, karena banyak kantor dan instansi yang memberlakukan cuti bersama. Akibatnya pegawai yang non-muslim pun terpaksa ikut arus mudik karena mereka sudah terlanjur potong cuti dan kantornya pun ditutup. Itu yang menambah sengit perebutan fasilitas transportasi dalam arus mudik.
Ekonomi Mudik kalau kita amati adalah ekonomi yang tidak sehat. Harga tiket transportasi naik ketika musim mudik, konsumsi BBM melonjak, harga-harga bahan makanan sepanjang jalan pun melambung. Begitu ditinggal mudik, terlihat betapa rapuhnya ibukota, pasar dan tempat makan pada tutup, jalanan sepi, ditinggal jutaan penduduknya. Di kampung, ramai tukang jajanan, tapi tidak sustainable, karena ketika pemudik kembali, warung mereka menjadi sepi seperti semula. Malah ada warung pinggir jalan di Tegal yang viral mematok harga seafood Rp 700 ribu sekali makan, terlihat bahwa ekonomi mudik memang mengandalkan aji mumpung. Anda tidak membantu ekonomi negara dengan mudik, malah mungkin menyusahkan. Miliaran Rupiah dihabiskan para pemudik dan jutaan liter BBM dibuang percuma di kemacetan yang parah.
Oke, mudik sudah dilarang karena kekhawatiran Pandemi Covid-19 yang semakin meluas. Tapi bagaimana dengan tempat wisata dan pusat belanja yang malah dibuka? Kok kelihatannya kontradiktif? Masalahnya adalah, kita masih bisa mengusahakan kontrol atas tempat wisata dan pasar, tapi kita akan kehilangan kontrol sama sekali kalau Arus Mudik dibuka. Ekonomi kita sudah mati suri hampir setahun karena Covid-19. Makanya kita mengusahakan agar ekonomi tetap berjalan dengan New Normal. Karyawan bioskop dan pedagang pasar bisa kerja lagi, tapi dengan menerapkan protokol kesehatan. Kita bisa beli baju lagi, tentunya tetap harus aman, pakai masker, sering cuci tangan, hindari kerumunan, dan jaga jarak dengan orang lain.
Tapi memang, sehebat apapun peraturan pemerintah, semua kembali kepada kita sendiri. Kalau kita punya hati nurani, ya tentunya kita nggak akan tega sampai melanggar protokol kesehatan, memaksa mudik, atau kumpul-kumpul, arisan, halal bil halal, dan lain-lain.
Ada yang bilang kita harus belanja baju baru untuk menghidupkan kembali ekonomi. Ya, itu memang benar sekali, saya setuju. Tapi kalau pasar rame, mengapa juga kita memaksa untuk belanja berdesak-desakan disana? Kan masih ada cara lain yang lebih aman untuk belanja, untuk bekerja, dan untuk rekreasi? Kan masih ada tempat rekreasi dan belanja yang ketat menerapkan Protokol Kesehatan New Normal? Belanja Online juga semakin marak, malah mendorong pemerataan ekonomi rakyat. Semua tergantung kita, bukan pemerintah: apakah Anda masih tega untuk melanggar protokol kesehatan?