Sungguh tidak mudah tinggal di kota besar yang kacau, semrawut, dan tidak manusiawi. Kota dimana kita harus berebut udara yang pliket dan bau minyak tanah. Uang, harta, dan kekuasaan dijadikan tuhan, juga sebaliknya, Tuhan dijadikan harta dan kekuasaan. Kriminalitas adalah arisan. Kota penuh dengan mata-mata nanar yang tak bisa dibedakan, apakah pembunuh berdarah dingin atau orang-orang saleh. Di kota ini, rasa malu dan gotong royong adalah nilai purbakala. Tidak ada lagi kesantunan dan kebesaran hati terlihat di kota yang menjulang ini.

Tidak mudah menyuarakan hati nurani di kota ini. Mereka selalu terpojok di sudut-sudut kota, terdiam dalam hati. Tapi saya yakin masih banyak yang mempunyai hati nurani. Sebelum jiwa saya terganggu karena menjadi penduduk kota ini, saya menulis jurnal ini. Jurnal ini bukan mengenai benar atau salah. Bukan tentang uang atau kuasa. Ini adalah sekedar catatan, dimana seorang warga kota berusaha tetap waras. Ini adalah catatan yang terpojok di pinggiran kota. Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, saya berterima kasih. Mari kita syukuri perbedaan di antara kita.

Sunday, February 27, 2011

Berlomba-lomba Dalam Kekejaman

Tahun 1965, massa Pemuda Rakyat dan Barisan Tani yang asosiatif dengan PKI, dengan parang dan golok, menyerbu sebuah masjid di Kanigoro, Kediri, dimana anggota PII (dituduh sebagai underbouw Masyumi yang dilarang oleh pemerintah) berkumpul. Beberapa orang hilang dan tewas dibantai, dan masjid itu dirusak.

Tahun ini, massa menyerbu Ahmadiyah (yang juga dilarang) di Cikeusik, Pandeglang, dengan golok dan tombak, beberapa orang tewas dibantai dan hilang.

Labelnya beda. Bajunya beda. Tapi judulnya sama, tetap bunuh-bunuhan. Tetap siksa-menyiksa. Tetap sadis dan tetap kejam. Tetap indonesia.

Apakah berlaku pepatah "berlomba-lomba dalam kekejaman" disini? Setelah bertahun-tahun sejarah tertulis, apa yang berubah? Mengapa kita terus mengulang kekejaman yang sama?

No comments:

Post a Comment