Sungguh tidak mudah tinggal di kota besar yang kacau, semrawut, dan tidak manusiawi. Kota dimana kita harus berebut udara yang pliket dan bau minyak tanah. Uang, harta, dan kekuasaan dijadikan tuhan, juga sebaliknya, Tuhan dijadikan harta dan kekuasaan. Kriminalitas adalah arisan. Kota penuh dengan mata-mata nanar yang tak bisa dibedakan, apakah pembunuh berdarah dingin atau orang-orang saleh. Di kota ini, rasa malu dan gotong royong adalah nilai purbakala. Tidak ada lagi kesantunan dan kebesaran hati terlihat di kota yang menjulang ini.

Tidak mudah menyuarakan hati nurani di kota ini. Mereka selalu terpojok di sudut-sudut kota, terdiam dalam hati. Tapi saya yakin masih banyak yang mempunyai hati nurani. Sebelum jiwa saya terganggu karena menjadi penduduk kota ini, saya menulis jurnal ini. Jurnal ini bukan mengenai benar atau salah. Bukan tentang uang atau kuasa. Ini adalah sekedar catatan, dimana seorang warga kota berusaha tetap waras. Ini adalah catatan yang terpojok di pinggiran kota. Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, saya berterima kasih. Mari kita syukuri perbedaan di antara kita.

Thursday, February 24, 2011

Gong Show

Acara Gong Show yang disiarkan di salah satu TV di Indonesia mengambil ide dari acara Gong Show yang pernah disiarkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-1980-an. Mungkin Anda terhibur menontonnya, memang itu konsepnya. Membuat orang terhibur dengan berbagai cara, yang kadang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pencipta acara Gong Show adalah Chuck Barris, figur kontroversial di pertelevisian Amerika Serikat. Orang yang dianggap sebagai ikon dunia kuis televisi Amerika ini sering dihujat sebagai promotor kemunduran moral di televisi.

Suatu saat dia melakukan audisi untuk acara adu bakat biasa di TV. Ternyata mayoritas peserta audisi adalah orang yang sama sekali tidak berbakat, atau memiliki bakat yang sama sekali tidak berguna. Begitu banyak yang mengikuti audisi, membuat Barris berpikir bahwa; pertama, orang mau berbuat apa saja untuk masuk TV. Kedua, mereka tidak keberatan untuk dijadikan olok-olok di TV nasional, dan ternyata, hal itu boleh jadi menghibur penonton TV.

Maka, jadilah acara yang tidak jauh berbeda dengan Gong Show yang biasa kita saksikan di sini. Peserta menunjukkan keahliannya, ada yang sungguh-sungguh berbakat, ada yang sama sekali tidak berbakat, hanya nekat asal muncul di TV, ada juga yang mempunyai bakat yang tidak penting juga untuk dipertontonkan. Bahkan kadang membuat kita jijik atau iba. Tapi itu tidak penting. Yang beda dari acara ini adalah bahwa kita sebagai penonton tidak perlu mengagumi mereka atas kelebihannya. Kita justru bebas mengolok-olok mereka. Di atas panggung sendiri sudah ada tim olok-olok, 3 orang yang bertanggung jawab atas pemukulan gong. Yang reguler adalah seorang pelawak bernama Komeng, dua lainnya bintang tamu yang berganti-ganti.

Apakah setelah menonton Gong Show, penonton bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang dipenuhi dengan orang-orang berbakat? Saya yakin tidak. Toh ini hanya acara hiburan. Apakah penduduk Indonesia terhibur menonton Gong Show? Bila jawabnya ya, berarti kita sedang mengalami sakit jiwa yang akut.

Berarti kita telah menjadi bangsa yang kecanduan hiburan. Apapun kita lakukan untuk mencari hiburan, bahkan dengan mengolok-olok orang. Kemanusiaan, budi pekerti, moral, dan lain-lain, dikesampingkan dulu.

Sebegitu jauhkah yang harus kita lakukan hanya untuk terhibur? Apakah kita begitu butuh hiburan, sampai harus membuat acara yang bombastis dan sarkastis seperti itu? Mari kita menonton TV untuk mencari jawabannya.

Salah satu TV swasta membuat acara kontes menyanyi, untuk selebritis yang tidak bisa menyanyi, dengan durasi 5 jam lebih. Ada apa ini?

Bukankah seharusnya kita mencari penyanyi yang benar-benar bisa menyanyi, itupun tidak harus 5 jam penuh kita menontonnya? Pelajaran apa yang kita dapatkan setelah menghabiskan waktu 5 jam menonton acara tersebut? Tidak ada.

Kontes menyanyi dimana-mana, bahkan untuk anak di bawah umur. Belum cukup, ibu dan bapaknya pun diajak serta ikut menyanyi di panggung. Saat ini mayoritas anak-anak di perkotaan bercita-cita menjadi penyanyi pop atau dangdut, atau bintang sinetron. Jaman dulu, anak-anak bercita-cita menjadi dokter, pilot, astronot, insinyur, dan sebagainya, yang menyaratkan mereka untuk giat belajar di sekolah. Indonesia kelebihan stok penyanyi dan penghibur, dari segala umur. Dari keseluruhan kontes bernyanyi itu, berapa persen dari mereka yang benar-benar meraih kesuksesan di bidang rekaman? Tak lebih dari 1% saya yakin.

***

Kita lihat TV lain. Reality show sekarang menjadi primadona hiburan baru. Tapi intinya, semua hanya untuk hiburan, tidak lebih. Obyek orang nyata dengan kehidupan nyata dalam reality show cuma komoditas. Lagipula, itu semua tidak benar-benar real. Coba tonton reality show yang menghadirkan pria satu truk untuk mendapatkan cinta seorang gadis. Apakah hal ini benar-benar natural dan mungkin terjadi di kehidupan nyata? Kita melakukan semua itu, hanya untuk produk hiburan? Apakah tidak sebaiknya energi sebanyak satu truk itu digunakan untuk hal-hal yang lebih membangun?

Pindah TV lain lagi. Sinetron, sinetron, sinetron. sekarang lagi marak cerita pembantu atau anak jalanan yang cantik, yang disukai orang kaya, yang ternyata si pembantu tersebut sebenarnya keturunan orang kaya juga. Logika yang membodohi. Siapa juga yang mempunyai ide bodoh me-casting Agnes Monica sebagai anak jalanan yang seharusnya kucel, kumal, dekil, dan kurang gizi?

***

Acara televisi adalah ancaman yang nyata dalam kehidupan berbangsa. Saya selalu kehilangan respek terhadap orang-orang yang membuat rakyat Indonesia menghabiskan mayoritas waktunya terbengong-bengong di depan TV. Selebritis yang tidak berbakat pun bisa jadi idola karena TV. Kuis kaya mendadak menjual mimpi kepada orang yang seharusnya bangun dan bekerja keras. Hanya di televisi, wisata kuliner seakan menjadi gaya hidup orang Indonesia, padahal di kampung sebelah orang busung lapar dan makan nasi aking. Seharusnya ada peringatan pemerintah, mirip yang diterapkan di rokok: Televisi dapat membuat orang bodoh, agresif, tidak peduli sesama, dan membuat logika dan rasa kemanusiaan Anda tumpul.

Tapi saya tertarik dengan iklan Deddy Mizwar di TV pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2008. Dia membacakan puisi yang berbunyi: "Bangkit itu mencuri/Mencuri perhatian dunia dengan prestasi."

Saya ingin menambahkan versi saya sendiri:

"Bangkit itu berhenti,
berhenti menonton televisi, dan mulai membaca buku."

No comments:

Post a Comment