Sungguh tidak mudah tinggal di kota besar yang kacau, semrawut, dan tidak manusiawi. Kota dimana kita harus berebut udara yang pliket dan bau minyak tanah. Uang, harta, dan kekuasaan dijadikan tuhan, juga sebaliknya, Tuhan dijadikan harta dan kekuasaan. Kriminalitas adalah arisan. Kota penuh dengan mata-mata nanar yang tak bisa dibedakan, apakah pembunuh berdarah dingin atau orang-orang saleh. Di kota ini, rasa malu dan gotong royong adalah nilai purbakala. Tidak ada lagi kesantunan dan kebesaran hati terlihat di kota yang menjulang ini.

Tidak mudah menyuarakan hati nurani di kota ini. Mereka selalu terpojok di sudut-sudut kota, terdiam dalam hati. Tapi saya yakin masih banyak yang mempunyai hati nurani. Sebelum jiwa saya terganggu karena menjadi penduduk kota ini, saya menulis jurnal ini. Jurnal ini bukan mengenai benar atau salah. Bukan tentang uang atau kuasa. Ini adalah sekedar catatan, dimana seorang warga kota berusaha tetap waras. Ini adalah catatan yang terpojok di pinggiran kota. Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, saya berterima kasih. Mari kita syukuri perbedaan di antara kita.

Wednesday, February 23, 2011

(Sandal Jepit) FCUK

Hari itu Jumat. Saya sedang siap-siap pergi ke masjid untuk shalat Jumat ketika tiba-tiba (mantan) boss saya datang.

"Henk, punya sandal jepit nggak?" tanya boss.

"Nggak Pak. Buat Apa?" Saya bertanya balik.

"Buat dipakai Jumatan dong!"

Saya melongo, dan boss pergi ke ruangan sebelah, berusaha cari pinjaman sandal jepit ke orang lain. Dalam hati saya berpikir mungkinkah boss saya mulai giat sholat Jumat lagi. Alhamdulillah.

***

Hari Jumat kemudian, dia sudah siap untuk pergi shalat Jumat lagi. Kali ini, dia tidak mencari pinjaman sandal jepit. Saya perhatikan dia sudah memiliki sandal jepit baru.

Mulai saat itu, sandal jepit baru itu selalu ada di ruangannya. Karena iseng, diam-diam saya suka memperhatikan sandal jepit itu. Sandal jepit biru itu seperti sandal jepit lain pada umumnya. Ada tulisan yang terdiri dari empat huruf kecil yang menghiasi sandal jepit itu: "fcuk".

Ha? FCUK?

Saya takjub. Ada sandal jepit merek FCUK?

***

FCUK adalah brand fashion terkenal dari Inggris. Nama aslinya adalah French Connection, disingkat menjadi FCUK agar mudah melekat di benak konsumennya. Di kalangan fashion retail dunia, FCUK mendapat respon yang baik dari pasar. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa outletnya. Kaos FCUK cukup populer dipakai di Jakarta. Kalau Anda belum pernah melihatnya, ijinkan saya menggambarkannya untuk Anda. Kaos FCUK yang populer di Jakarta adalah t-shirt dengan print tulisan "fcuk" di dada. Itu saja. Itu sudah cukup menggambarkannya. Sesederhana apapun, Anda perlu merogoh kocek Rp 400.000 untuk mendapatkan kaos itu.

Apa bedanya dengan t-shirts lain? Hanya tulisan empat huruf itu saja. Anda dapat mendapatkan kaos polos dengan kualitas yang bagus hanya dengan uang sekitar Rp 80.000-an. Tetapi bila kaos itu ditambahkan empat huruf "fcuk", nilainya menjadi lima kali lipat. Berapa harga sandal jepit biasa yang ditambahkan empat huruf itu? Saya tidak tahu pasti, tapi teman saya membisikkan sekitar Rp 150.000-an. Kalau benar, itu berarti 10 kali lipat harga sandal jepit saya.

Apa arti empat huruf "f-c-u-k" di kaos itu? Hanya satu jawabannya: Lifestyle. Kita tidak sekedar membeli alas kaki atau penutup badan. Kita membeli gaya hidup. Lifestyle membuat kita menjadi konsumen yang loyal. Kita membayar lebih mahal untuk kaos yang bertuliskan "fcuk". Menurut Anda, apakah ini smart buying, ataukah sekedar kekonyolan?

Boss saya adalah contoh hidup dari seorang duta besar lifestyle. Semua barang yang dikonsumsinya dalam hidup selalu berdasarkan kepribadian dan gaya yang dia pilih. Branding adalah sarananya memosisikan dirinya di dunia. Dia tak pernah menginjakkan kaki ke warteg, tapi bila kita mengisi kopi warteg ke dalam gelas Starbucks, mungkin dia akan meminumnya.

***

Inilah manusia modern. Manusia yang dikuasai oleh gaya hidup. Siapakah sejatinya manusia modern tersebut? Konsumen. Kita menjadi budak dari gaya hidup. Kita menjadi lebih manusia ketika kita lebih banyak mengonsumsi. Semakin banyak kita mengonsumsi, semakin terhormat kita dalam peradaban manusia. Televisi, majalah, dan media massa adalah alat promosi gaya hidup, yang ditujukan agar kita membeli dan membeli lagi. Tak begitu penting apakah kita benar-benar membutuhkan barang yang kita beli.

Selamat datang di dunia yang dangkal ini. Tempat Anda di dunia ini ditentukan oleh apa yang Anda konsumsi. Silakan Anda membeli televisi warna, DVD, coffeemaker, sofa, iPod, ponsel, mobil, fast food/fine dining, sepatu Bally, kacamata Oakley, celana dalam Calvin Klein, dan sebagainya. Arti hidup Anda tidak diukur berdasarkan sumbangan Anda terhadap kemanusiaan, tapi berdasarkan merek mobil apa yang Anda kendarai. Sedekah Anda di masjid tidak lebih penting dari sandal jepit (FCUK).

Seandainya kita bisa membayangkan hidup tanpa iklan, tanpa televisi, tanpa gaya hidup, tanpa konsumsi berlebihan. Ah, tentu saja bisa. Coba lihat di berita, cara hidup pengungsi korban gempa. Bagi mereka, sepatu Bally tidak lebih berguna dari semangkuk beras. Mie instan lebih penting dari tas Prada. Anda disambut di antara mereka bukan karena kacamata Oakley Anda, tapi karena ketulusan hati Anda.

Lifestyle seperti kanker. Kita lahir ke dunia ini tanpa style apa-apa. Ketika dewasa, kita mulai digerogoti oleh lifestyle. Kita bisa stress, mati terbunuh, atau menyembah uang karena lifestyle. It's the world of style over content. Tidak penting isinya, yang penting gayanya. Bungkus lebih penting dari isi. Kadang kita lebih berkonsentrasi memerindah bungkus, tapi lupa bahwa isinya sudah busuk sedemikian rupa.

***

Suatu saat boss saya tersebut cerita bahwa dia baru saja beli sepatu olah raga seharga Rp 4 juta di salah satu butik. Mereknya saya lupa, tapi harga sudah mengindikasikan bahwa mereknya pasti internasional. Hari pertama dipakai, hujan turun deras. Dia takut sepatu barunya kebasahan meskipun dia membawa payung dan mengendarai mobil. Akhirnya dia menunggu 2 jam di kantor agar hujan reda. Ini adalah kanker lifestyle. Sepatunya lebih penting dari dirinya sendiri, seolah dia dilahirkan ke dunia kembar siam dengan sepatu olah raga itu.

Harusnya ada peringatan pemerintah: lifestyle membuat Anda bodoh, tidak peka, dangkal, terjajah, buta, kekanak-kanakan, tidak tenang, darah tinggi, sakit jantung, kegemukan/kekurusan, kecanduan, munafik, dan dapat membunuh Anda. Dunia ini memang sudah sedemikian sakit. Kita sedang diperbudak, tapi kita tidak sadar. Kita tidak tahu siapa yang menjajah.

Sekarang tanyakan ke diri sendiri, apa jadinya Anda tanpa lifestyle Anda. Apakah Anda orang yang lebih baik atau orang yang lebih buruk? Orang paling bahagia bukanlah orang yang mengejar banyak hal dalam hidupnya, orang yang bahagia adalah orang yang memiliki lebih sedikit keinginan. Seperti cermin ajaib dalam buku Harry Potter. Setiap orang yang bercermin ke cermin ajaib itu melihat diri mereka menjadi apapun yang mereka inginkan dan impikan. Sementara orang yang bahagia bercermin ke cermin ajaib itu hanya melihat bayangan dirinya sendiri, apa adanya.

Kita perlu melihat ke dalam diri sendiri, apakah sudah sedemikian rusak oleh lifestyle, ataukah masih bisa diperbaiki. Lifestyle hanyalah pelengkap, bukan tujuan hidup, bukan pula Tuhan. Saya sendiri punya pekerjaan berat, untuk tetap menjadi manusia yang baik, di balik lifestyle yang saya anut. Saya berusaha untuk tetap punya hati nurani, tanpa terjajah oleh sandal jepit Swallow saya.

No comments:

Post a Comment