***
Saya mendengarkan sebuah obrolan ringan yang (ternyata) serius di jalan. Seorang manajer, (sepertinya), sedang berbicara santai dengan beberapa anak buahnya di jam makan siang. Anak buahnya bertanya apakah si manajer punya akun Facebook. Dijawab si manajer dengan antusias bahwa dia punya. Selesai makan siang si manajer meminta mereka untuk add dia sebagai contact mereka di Facebook.
Salah seorang anak buah bertanya iseng (agak kurang ajar juga), "Pak, bukankah Facebook mengurangi kinerja karyawan untuk perusahaan? Apalagi kalau koneksi internetnya dibayar oleh perusahaan?"
Si manajer membantah dengan sengit, "Mungkin benar survei yang membuktikan bahwa kinerja karyawan berkurang karena Facebook. Biar saja. Tapi lihat jangka panjang. Facebook lagi booming sekarang. Semua orang dari kota sampai kampung memakai Facebook. Tapi 3 atau 4 tahun lagi? Facebook akan kehilangan pesonanya, seperti Friendster misalkan. Pada saat itu, semua bekas pemakai Facebook akan memiliki skill komunikasi yang advanced. Mereka akan pintar berkomunikasi dan networking karena terbiasa bermain Facebook. Facebook akan hilang, tapi penggunanya akan semakin maju. Mereka akan menjadi resourceful karena pernah aktif dalam sebuah jejaring sosial di internet."
Anak buahnya manggut-manggut. Benar juga kata pak manajer, pikir mereka. Dengan kata lain, menurut teori pak manajer, kemampuan komunikasi mereka akan meningkat dengan Facebook. Mereka akan terbiasa mendapatkan informasi yang resourceful untuk pekerjaan dan kehidupan mereka karena Facebook. Benarkah demikian?
Saya teringat peristiwa bom Ritz-Carlton 17 Juli 2009. Tidak lama begitu bom meledak, terjadi kepanikan luar biasa yang beredar di Facebook. Dalam status update, banyak yang menulis bahwa sasaran terorisme bukan hanya Ritz-Carlton dan J. W. Marriot semata, tetapi seluruh Jakarta. Bandara Soekarno-Hatta juga menjadi sasaran bom. Status update pengguna Facebook yang lain menerangkan bahwa sebuah bom mobil yang akan menyerang bandara keburu meledak di pintu tol Kapuk, Jakarta Utara. Status update ini menyebar sampai menimbulkan kepanikan bom mobil-bom mobil lainnya sedang berkeliaran di jalanan Jakarta, menunggu untuk meledak serentak. Belakangan ketahuan bahwa paranoia di Facebook itu tidak terbukti, dan mobil yang meledak di pintu tol Kapuk adalah mobil tukang kembang yang mengalami korsleting, bukan teroris.
***
Itu adalah salah satu contoh bahwa Facebook tidak selalu membuat kita bijak dalam mentransfer informasi dan memilahnya, alih-alih membuat kita semakin tumpul. Parahnya, para jurnalis juga sudah mulai terjangkit virus facebook. Suatu hari di salah satu harian di ibukota, diberitakan tentang sebuah UFO yang melintas di atas Apartemen Pakubuwono Residence dan kawasan Blok M, Jakarta. Berita itu didasarkan pada foto yang didapat oleh wartawannya dari Facebook. Masyarakat heboh, sampai stasiun TV berita yang konon cukup kredibel pun ikut membahas tentang kedatangan UFO di Jakarta. Belakangan baru ketahuan bahwa berita itu adalah hoax setelah salah seorang mengaku bahwa foto piring terbang itu adalah hasil rekayasanya.
Bila wartawan dan lembaga pers memiliki kredibilitas, harusnya dia malu telah memuat berita tanpa ada sumber yang jelas dan dibuktikan kebenarannya. Memalukan bila seorang wartawan menjadikan Facebok sebagai sumber berita. Wartawan dan Pers adalah lembaga yang terhormat karena memiliki kode etik jurnalistik. Tidak sembarang orang bisa menjadi wartawan, karena harus melewati pelatihan tertentu. Kode etik jurnalistik itu meliputi banyak hal yang mencegah wartawan menyiarkan berita bohong dan pemutar-balikan fakta. Wartawan harusnya dalah orang-orang pilihan. Wartawan harusnya terlatih mencari sebenar-benarnya fakta dan melakukan investigasi. Dalam kode etik, misalkan, disebutkan bahwa wartawan harus memiliki sumber berita yang kredibel. Dalam kasus foto UFO, wartawan tidak mendapatkan si fotografer atau saksi mata, tapi dengan sembrono mengambil dari Facebook tanpa background check.
Menurut kaidah jurnalistik, pernyataan saksi kurang dari 2 orang tidak bisa dianggap fakta, melainkan opini. Dalam kasus ini, wartawan tersebut tidak mendapatkan satu saksipun, melainkan hanya mendapat kiriman foto. Seandainya wartawan mendapat satu bahan berita, misalkan sebuah foto, maka dia wajib melakukan investigasi atau pengecekan kebenaran dari bahan berita tersebut. Foto tersebut diberikan caption bahwa UFO terlihat melintasi angkasa di atas Apartemen Pakubuwono Residence. Padahal dalam foto itu terlihat jelas bahwa gedung itu bukan Apartemen Pakubuwono Residence, melainkan Apartemen Taman Anggrek. Saran saya untuk para wartawan, kurangi bermain Facebook dan lebih banyak investigasi di luar kantor. Kalau sempat, cobalah sekalian jalan-jalan ke Apartemen Pakubuwono dan Taman Anggrek.
***
Facebook juga membuat cara berkomunikasi kita makin aneh. Tidak ada batas yang jelas antara ruang publik dan privat. Batas antara komunikasi interpersonal dan publisitas, ataupun komunikasi massa, semakin kabur. Pernah salah seorang rekan sedang bepergian mengunjungi kolega-koleganya. Istrinya mungkin kesal karena dia belum juga pulang ke rumah malam-malam, menulis status di Facebook: "Papa cepat pulang! Sudah malam...". Eh, rekan saya balas status Facebook istrinya: "Ada apa sih Ma? Papa masih belum selesai ketemuan sama teman-teman nih?".
Ada yang salah dengan cara berkomunikasi kita melalui Facebook. Apabila seorang istri menulis di Facebook ingin suaminya cepat pulang, itu sama saja dengan dia membuat spanduk besar yang dipasang depan rumahnya bertuliskan: "Papa cepat pulang!". Puluhan bahkan ratusan orang yang tidak berhubungan dengan komunikasi suami istri itu bisa membacanya.
Harus diingat bahwa Facebook adalah media publik, dengan kita sendiri sebagai pemilik, redaktur, sekaligus editornya. Untuk itu kita harus berhati-hati dalam mengeluarkan uneg-uneg atau pendapat pribadi, karena akan menjadi hak publik untuk berkomentar atas uneg-uneg itu, bahkan menuntut Anda apabila tidak berkenan. Dalam kehidupan nyata, Anda memiliki peran-peran yang berbeda, peran sebagai pribadi, peran sebagai karyawan, peran sebagai atasan, peran sebagai profesional, peran sebagai suami/istri, dan lain-lain. Setiap peran memiliki konsekuensi tanggung jawab masing-masing. Di Facebook, kita hanya memiliki satu peran yang tidak bisa dibagi-bagi. Misalkan sepasang Bapak dan Anak sama-sama mempunyai akun Facebook. Bapak itu harus membatasi pesan yang dikirmnya lewat Facebook karena dia punya kewajiban moral seorang Bapak yang bijaksana apabila sang anak menjadi audience-nya.
Salah satu contoh konkret role crisis (krisis peran) yang dialami pengguna Facebook adalah kasus seorang anggota polisi di Palembang yang menulis status berisi pendapat pribadinya tentang kesatuannya di Facebook. Dia tidak sadar bahwa sebagai anggota Brimob, dia tidak berhak mempublikasikan pendapat pribadinya tanpa disetujui kesatuannya. Dia menulis kira-kira bahwa Polri tidak membutuhkan masyarakat, masyarakatlah yang membutuhkan Polri. Protes timbul dimana-mana, terutama karena sedang memburuknya citra polisi di masyarakat akibat dugaan suap. Akhirnya kasus ini menjadi skandal nasional. Si anggota Brimob tersebut mendapat sanksi dan meminta maaf.
Seorang kenalan saya bercerita bahwa rekannya, bekerja di sebuah cabang perusahaan di Sulawesi, menulis di status Facebooknya: "Perusahaan ini tidak profesional! Gaji kok bisa telat?". Keesokan harinya dia ditelepon kantor pusatnya di Jakarta untuk menerima Surat Peringatan (SP), hanya gara-gara mencurahkan perasaannya di Facebook. Perusahaannya merasa nama baiknya tercemar karena karyawan tersebut mencantumkan info di Facebook nama perusahaan tempat dia bekerja. Dia sudah selangkah lagi untuk dipecat, apabila tidak diselamatkan oleh salah satu atasannya yang memohon keringanan buatnya. Kasus lain lebih memprihatinkan. Pelajar SMA di Bogor melaporkan sesama pelajar ke kantor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik gara-gara komentar-komentar di Facebook! Anda nilai sendiri, apakah ini yang dinamakan skill komunikasi yang advanced. Apa Facebook membuat kita lebih cerdas atau sebaliknya.
***
Kebanyakan dari kita bukanlah komunikator yang baik. Kita sering tidak efektif dalam berkomunikasi dan tidak sadar audience. Kita juga sering lupa memperhitungkan dampak dari pesan kita. Dengan Facebook, seakan kita menemukan kotak Pandora. Begitu terbuka dan lepas, kita menjadi tidak terkontrol. Wajar saja bila Facebook dilarang di Cina dan Iran. Status quo bisa goyah hanya karena status update yang liar.
Eh, sudah jam 12! Mohon maaf rekan-rekan, saya tinggal dulu. Saya mau main social networking game dulu di Internet. Saya ikut game yang berperan sebagai mafia-mafian di Facebook. Game ini cukup mengasyikkan, siang malam saya memainkannya. Kalau Anda punya akun Facebook, add saya ya? Nanti kita bisa bermain perang mafia bersama. Kalau saya kecanduan Facebook juga, ya sudahlah. Paling tidak, Anda jadi teman saya. Hahaha...
No comments:
Post a Comment