Taliban, yang awalnya terbentuk dari madrasah-madrasah di dekat Pakistan, adalah kelompok yang pernah berkuasa secara tangan besi di Afghanistan. Sebagai faksi Islam, dia menegakkan hukum Islam yang paling keras yang pernah ada. Hasilnya, mungkin tidak harus disengaja, Taliban selalu identik dengan kekerasan.
Warga Afghanistan (yang tidak semuanya pendukung Taliban) dilarang tertawa terlalu keras di depan umum. Apabila melanggar, polisi Taliban akan memukul mereka dengan tongkat kayu. Wanita harus memakai burqa (penutup tubuh dan seluruh muka) dan tidak boleh keluar rumah tanpa ditemani muhrimnya. Wanita yang berjalan sendirian, dengan alasan apapun, akan dikembalikan ke rumahnya setelah dipukul dengan tongkat terlebih dulu. Pria yang keluyuran di luar masjid pada waktu shalat juga akan dihukum.
Setiap pencuri akan dihukum potong tangan. Mencuri adalah aktifitas, itulah yang terkena hukuman. Artinya obyek yang dicuri tidak penting. Mau mencuri berlian, ataupun mencuri roti sekedar untuk makan, tetap potong tangan. Di Kabul, pelaksanaan eksekusi pemotongan tangan, sekalian dengan perajaman orang yang tertangkap berzina dan eksekusi hukuman gantung, dilakukan di depan ratusan warga umum di stadion sepak bola.
Penduduk dilarang memiliki TV dan buku-buku dibakar oleh Taliban. Museum budaya Afghanistan yang kaya selama ribuan tahun dihancurkan isinya karena dianggap penuh dengan berhala. Patung Buddha raksasa di Bamiyan yang dibangun pada tahun 500 oleh nenek moyang orang Afghanistan sendiri juga dirubuhkan oleh Taliban.
Mengapa Taliban seperti itu? Mereka sekedar ingin menjalankan agamanya dengan cara paling baik. Ada yang menyebut Wahabi fundamentalis, ada yang menyebut Islam garis keras, atau apapun namanya, mereka hanyalah muslim yang berusaha taat. Mereka ingin mewujudkan masyarakat agamis yang paling baik. Untuk itu mereka perlu tongkat kayu dan batu rajam. Tapi di tengah bentakan, pukulan, cambukan, apakah masyarakatnya bisa merasakan ketenangan Tuhan di sekitar mereka? Apakah masyarakat Afghanistan merasakan kedamaian?
Apakah masyarakat Afghanistan bisa mensyukuri Islam sebagai rahmatan lil alamin di sekitar lingkungan Taliban yang taat? Bagaimana dengan orang yang mempunyai keyakinan berbeda dengan Taliban? Bisakah mereka hidup tenang menjalankan apa yang mereka percaya di Afghanistan?
Setiap orang berhak untuk mendapatkan kedamaian jiwa. Untuk itulah setiap orang berhak memeluk agama dan keyakinan. Karena agama dapat memberi kedamaian jiwa. Ada yang salah dengan penduduk Afghanistan, karena mereka memeluk agama dengan taat, tapi semakin jauh dari kedamaian. Yang ada adalah rasa was-was dan ketakutan tiap hari.
Bagaimana dengan syiar Islam? Meskipun Taliban adalah faksi Islam, melihat dari karakternya, mereka tak menjalankan syiar. Mereka tidak berdakwah, mereka memerintah. Bagaimana mereka bisa berdakwah dan menyebarkan agama Islam, orang non-Islam mana yang tidak takut berdekatan dengan mereka? Semua tentang Taliban adalah dominasi.
Bukan hal yang baru tentang agama dan dominasi. Tertulis sejarah panjang bagaimana penganut agama-agama besar (Islam, Katolik, Protestan, Yahudi dan agama lain) sering hanya bertujuan untuk mendapatkan dominasi atas masyarakat daripada menyodorkan solusi kedamaian. Masing-masing pemeluk agama juga sampai hari ini masih ada yang saling berebut dominasi, dari menghasut, menghina, saling melukai, bahkan sampai membunuh. Ini memang berbanding terbalik dengan konsep dakwah (preaching) yang harus masuk ke dalam logika dan kejiwaan manusia. Yang ada hanyalah perebutan pengaruh dan kekerasan yang membuat kita tidak ada bedanya dengan jaman prasejarah. Entah agama apapun, selalu hanya ada satu logika yang berlaku: kita benar dan mereka salah.
Kekerasan tidak akan membuat orang lebih taat beribadah. Anda membuang waktu mendekatkan diri dengan Tuhan apabila dilakukan dengan kekerasan. Kekerasan akan menimbulkan ketakutan. Ketakutan akan menimbulkan kebencian. Kebencian akan menimbulkan kemarahan. Kemarahan akan menimbulkan kekerasan lagi. Begitu seterusnya. Lalu dimana letaknya kedamaian dan kasih sayang?
Tuhan, maha pengasih dan maha penyayang, ampunilah dosa-dosa kami.
Sungguh tidak mudah tinggal di kota besar yang kacau, semrawut, dan tidak manusiawi. Kota dimana kita harus berebut udara yang pliket dan bau minyak tanah. Uang, harta, dan kekuasaan dijadikan tuhan, juga sebaliknya, Tuhan dijadikan harta dan kekuasaan. Kriminalitas adalah arisan. Kota penuh dengan mata-mata nanar yang tak bisa dibedakan, apakah pembunuh berdarah dingin atau orang-orang saleh. Di kota ini, rasa malu dan gotong royong adalah nilai purbakala. Tidak ada lagi kesantunan dan kebesaran hati terlihat di kota yang menjulang ini.Tidak mudah menyuarakan hati nurani di kota ini. Mereka selalu terpojok di sudut-sudut kota, terdiam dalam hati. Tapi saya yakin masih banyak yang mempunyai hati nurani. Sebelum jiwa saya terganggu karena menjadi penduduk kota ini, saya menulis jurnal ini. Jurnal ini bukan mengenai benar atau salah. Bukan tentang uang atau kuasa. Ini adalah sekedar catatan, dimana seorang warga kota berusaha tetap waras. Ini adalah catatan yang terpojok di pinggiran kota. Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, saya berterima kasih. Mari kita syukuri perbedaan di antara kita.
No comments:
Post a Comment